Banda Aceh || Rega Media News
Penolakan Raqan Pertanggungjawaban Gubernur Aceh Tahun 2020 semakin menguatkan, bahwa adanya persoalan serius dalam pengelolaan pemerintah Aceh. Hal ini diungkapkan Heri Mulyandi, koordinator Majelis Pemuda Aceh (MPA) kepada media, Minggu (22/08/2021) malam.
Untuk itu, kata Heri, DPRA diharapkan untuk tidak berhenti sampai disitu saja, karena ada persoalan yang menjadi pekerjaan rumah (PR) bagi para wakil rakyat yakni tentang kepastian kelanjutan hak angket.
Kendatipun penolakan Raqan pertanggung jawaban tidak berimplikasi langsung kepada pencopotan Gubernur dari jabatannya, namun hal ini dapat menjadi acuan bahwa adanya sejumlah persoalan serius dalam pengelolaan anggaran dan pemerintahan di Aceh.
“Juga sebagai bukti bahwa kemungkinan besar bahwa poin-poin pelanggaran yang tertuang di dalam materi interpelasi yang rencananya dulu diangketkan sangat benar adanya,” tandasnya.
Sehingga kelanjutan hak angket menjadi sarana pembuktian lebih lanjut untuk melakukan penyelidikan atas sejumlah kesalahan yang dilakukan gubernur dalam mengelola pemerintahan Aceh.
Menurut Heri, salah satu persoalan yang berulang kali menunjukkan ada masalah serius dan berpotensi melanggar aturan yakni penggunaan anggaran BTT Rp 116 Milyar dan dana refocusing Rp. 2,4 T yang diperuntukkan untuk penanganan covid-19 di Aceh.
“Persoalan itu pernah mencuat dalam materi interpelasi dan angket, ketika pembahasan Raqan pertanggung jawaban akhirnya terbongkar, bahwa sampai 4 kali perubahan alokasi anggaran refokusing dilakukan pemerintah Aceh tanpa sepengetahuan DPRA,” ungkap Heri.
Bahkan, mencuatnya penggunaan anggaran penanganan Covid-19 yang tidak sesuai dengan ketentuan. Ini salah satu bukti adanya pelanggaran serius yang dilakukan oleh Gubernur Aceh yang berpotensi pelanggaran hukum dan merugikan rakyat.
Heri menegaskan, saat ini rakyat mempertanyakan kelanjutan penggunaan hak angket yang sempat ditunda oleh DPR Aceh pada Oktober 2020 silam, sehingga semua persoalan lebih terang benderang.
“Yang dilakukan DPRA pada Oktober 2020 lalu yakni menunda hak angket bukan menghentikan, sehingga sangat wajar jika kita bertanya apakah DPRA akan berani melanjutkan setelah ditemukannya fakta bahwa persoalan yang rencana diangkat dalam materi angket menunjukkan sisi kebenarannya,” ujarnya.
Masih kata Heri, salah satu materi yang diajukan dalam interpelasi yang mesti dibuktikan lebih lanjut terkait hak angket yakni terkait status YA sebagai istri kedua Gubernur Aceh dan juga 2 anaknya.
Hal ini perlu dibuktikan selain tidak adanya didalam dokumen pencalonan sebagai Gubernur/Wakil Gubernur juga untuk menjelaskan secara terang benderang kepada publik tentang persoalan tersebut sehingga tidak menjadi fitnah, apalagi tidak adanya pernyataan resmi pemerintah Aceh terkait persoalan itu.
“Berdasarkan pasal 76 ayat 1 UU No 23 Tahun 2014, Kepala Daerah dalam hal ini Gubernur dapat diberikan sanksi pemberhentian apabila menggunakan keterangan dokumen dan/atau keterangan palsu sebagai persyaratan pada saat pencalonan kepala daerah/wakil kepala daerah berdasarkan dari lembaga yang berwenang menerbitkan dokumen,” jelasnya.
MPA menilai, tingkat serius atau tidaknya DPRA dalam melakukan fungsi pengawasan dapat diukur dari dilanjutkan atau tidaknya hak angket. “Jika hak angket yang ditunda tidak dilanjutkan, ini akan menjadi penilaian buruk bagi publik terhadap kinerja dan marwah lembaga legislatif Aceh,” katanya.
Selain itu, MPA juga menilai sikap Fraksi PAN dan PKS di DPRA menerima Raqan Pertanggung Jawaban secara tidak langsung memang melukai hati masyarakat Aceh dan berpotensi merusak citra kedua partai di mata publik.
“Namun demikian, kedua Partai juga menyampaikan pandangan kritis yang menunjukkan bahwa mereka mengakui ada pelanggaran dan persoalan serius di pemerintahan Aceh saat ini,” ucapnya.
Untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat, kita berharap untuk kedua fraksi kembali ke jalan yang benar dengan tetap membela persoalan rakyat ketimbang mengamankan diri di lingkaran penguasa, apalagi kondisi Aceh dari berbagai aspek termasuk ekonomi sangat memprihatinkan.
“Hal itu, ditandai dengan berulang kalinya Aceh menjadi juara termiskin di Sumatera. Kita yakin 2 fraksi yang menerima RPJ Gubernur tidak menjadi pecundang jika hak angket dilanjutkan, apalagi keduanya sangat vokal ketika interpelasi dan rencana angket pada 2020 silam,” ujar Heri.
Bahkan, kata Heri, alangkah bijaknya jika kedua fraksi partai tersebut berada di garda terdepan untuk melanjutkan hak angket. Jika Fraksi PAN dan PKS benar-benar menganggap diterima atau ditolaknya Raqan pertanggung jawaban tidak terlalu penting, namun kelanjutan hak angket tentunya sangat penting.
“Apalagi kedua partai tersebut dulunya juga merupakan inisiator interpelasi dan hak angket. Bahkan agar kelanjutan hak angket tidak menggantung dan kecurigaan publik tidak bertambah, alangkah eloknya kedua fraksi partai tersebut mengambil inisiatif mempelopori kelanjutan hak angket,” tegasnya.
Di samping itu, pihaknya juga berharap agar semua fraksi yang sebelumnya menolak pertanggung jawaban Gubernur untuk Istiqomah dalam bersikap dan tidak masuk angin.
“Jika PAN dan PKS berkenan kembali ke pangkuan rakyat dan fraksi beserta 52 anggota DPRA yang telah menolak pertanggung jawaban, maka harapan rakyat terkait kelanjutan hak angket akan terwujud dan Marwah DPRA di mata rakyat akan kembali menjadi baik. Ini penting untuk membuktikan DPRA tendang sedang memainkan sandiwara politik dalam membela persoalan Aceh dan rakyatnya,” pungkas Heri.