Gorontalo,- Ketua DPC Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia (Permahi) Gorontalo, Moh Sahrul Lakoro, kembali memberikan tanggapannya terkait polemik agraria, di Desa Ibarat, Kecamatan Anggrek, Kabupaten Gorontalo Utara (Gorut).
Menurut Sahrul, Indonesia menganut mazhab hukum positivisme, yang akan hal itu bisa dilihat dari produk-produk hukum seperti Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Kitab Undang-Undang Hukum Aacara Pidana (KUHAP) dan sebagaiannya.
“Mazhab hukum seperti ini, memang memberikan kepastian hukum namun cenderung berfokus pada masyarakat untuk hukum, namun faktanya dengan majunya zaman perlu ada perbaikan bahwasannya hukum untuk masyarakat,” ungkap Sahrul, Senin (17/3/25).
Syahrul menjelaskan, terkait polemik agraria di Desa Ibarat yang kini menyita perhatian publik, bukan bermaksud untuk menghambat masyarakat mendapatkan hak-hak mereka, melainkan adalah upaya untuk mencegah terjadinya masalah di masa yang akan datang.
“Jangan sampai, dimasa yang mendatang dikarenakan ada kekeliruan dalam memverifikasi administrasi, atau memiliki kecacatan formil pada hukum, sehingga munculah masalah baru dan dampaknya pada masyarakat itu sendiri,” jelas Sahrul
Syahrul meminta, pihak yang memiliki kepentingan jangan memberikan informasi yang dapat menyesatkan kepada masyarakat, tentang biaya pajak yang fantastis dan bertabrakan dengan regulasi.
“Masyarakat yang kurang memahami prosedur soal jual beli tanah, tolong jangan dibodohi dengan potongan pajak yang begitu fantastis, dan bersembunyi dibalik kata ikhlas padahal ada bukti chat bahwa si oknum meminta segera untuk mentransfer pajak,” pinta Sahrul.
Sahrul berharap, masyarakat tidak mengalami kerugian dikarenakan bertabrakan dengan regulasi yang ada.
“Secara regulasi, jangan sampai masyarakat bisa kena atas dampak dari kelalaian para penyelenggara pengadaan dan jual beli tanah dengan acuan PP Nomor 39 Tahun 2023. Apakah mau pihak perusahaan dan masyarakat kena delik penada? Hal ini, dikuatkan dengan hasil RDP DPRD Gorontalo Utara bahwasannya sebagian tanah hanya menggunakan surat keterangan dari desa,” ujar Sahrul.
Sahrul menerangkan, berdasarkan regulasi PP Nomor 39 Tahun 2023, seharusnya melibatkan BPN, atau surat perintah atau tugas dari Pemerintah Daerah Kabupaten Gorontalo Utara.
“Kita baru mengacu di PP 39 Tahun 2023 saja, bisa kena karena sesuai berita yang beredar BPN tidak tahu menahu soal hal ini. Lalu, menjadi pertanyaan apakah Kepala Desa sudah melakukan koordinasi dengan PJ Bupati atau Sekda? Apakah ada surat tugas atau perintah? Semoga saja ada, sebab kalau tidak ada maka dalam hal ini kami menduga bahwa hierarki pemerintahan telah mati di Gorontalo Utara,” terang Sahrul.
Sahrul menambahkan, selanjutnya jika mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2016, dijelaskan bahwa dibawah Rp60 juta tidak dipotong pajak, dan yang boleh dipotong pajak aturannya hanya 2,5%.
“Kok bisa ada yang sampai puluhan juta?Kami telah menyusun dan akan melaporkan permasalahan ini di Kejaksaan Tinggi Gorontalo dengan dugaan Penyalahgunaan Kewenangan dan mafia tanah. Landasan kami adalah, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tipikor. Tunggu saja, pihak-pihak yang akan dipanggil oleh kejaksaan kita gak main-main,” tandasnya.