Bangkalan || Rega Media News
Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Payung Kuning Desa Labuhan, Kecamatan Sepulu, Kabupaten Bangkalan, Madura, Jawa Timur, merupakan satu-satunya perkumpulan warga Desa Labuhan yang tetap konsisten merawat dan melindungi Ekowisata Pesisir Labuhan, Taman Pendidikan Mangrove dan Taman Wisata Laut.
Pokdarwis Payung Kuning Labuhan menyelamatkan lingkungan dengan melakukan penanaman 29 jenis mangrove di hamparan lahan sebelah timur 4.266 Ha. Sementara sebelah barat terdapat hamparan lahan 4.666 Ha.
Penanaman itu dilakukan sejak tahun 2014 bersama Pertamina PHE WMO, dengan mengajak masyarakat, untuk melakukan konservasi mangrove dengan penanaman sebanyak 17 ribu bibit mangrove dan cemara laut.
Ekowisata pesisir labuhan juga terdapat 31 spesies burung dilindungi. 2 terdapat spesies burung Near Theatened dan 1 Endanggered by IUCN (terancam punah). Indeks kehati burung 3,27 diakhir tahun 2020.
Kemudian upaya penyelamatan lingkungan pesisir labuhan juga dilakukan konservasi terumbu karang dengan menanam 80 kubah beton berrongga. Dan melakukan pemanfaatan limbah padat non B3 untuk pengembangan kawasan.
Tujuan konservasi pesisir Labuhan tersebut, untuk menjaga kelestarian lingkungan pesisir laut melalui program ekowisata taman pendidikan Mangrove dan Taman Wisata Laut.
Sehingga melalui program ekowisata tersebut, memberi infek ekonomi warga Desa Labuhan dan sekitarnya berkelanjutan, baik potensi pendapatan kelompok dan potensi ekonomi dari Multiplyer Effect UKM.
Secara sosial ekowisata pesisir labuhan menjadi atensi masyarakat Madura untuk menikmati keindahan ekowisata pesisir labuhan. Tercatat akumulasi jumlah pengunjung 106.209 ribu. Dampaknya, 145 KK mantan pekerja migran diberdayakan, 17 kelompok tani sejahtera, 3 pelopor kelompok Bank sampah dan 1.500 penerima manfaat yang tersebar di 4 Desa Pesisir.
Ketua Pokdarwis Payung Kuning Desa Labuhan, Sahril menuturkan, inspirasi dari terbentuknya ekowisata ini berangkat dari konservasi. Pokdarwis ingin menyelamatkan lingkungan di pesisir Desa Labuhan dengan melakukan penanaman mangrove dan puluhan kubah terumbu karang.
“Dari konservasi ini kita ingin menyelamatkan lingkungan dengan menanam mangrove di pesisir pantai. Tujuannya selain menyelamatkan lingkungan, agar bisa menghidupkan ekonomi masyarakat sekitar, dan mencegah terjadinya abrasi,” terangnya, Minggu (10/10/2021) kemarin.
Dijelaskan Sahril, bahwa keberhasilan konservasi mangrove dan terumbu karang tidak terlepas dari bantuan perusahaan minyak dan gas bumi Pertamina Hulu Energi West Madura Offshore (PHE WMO).
Sejak 2014 silam, anak usaha milik PT Pertamina ini mengelola blok West Madura Offshore atau Blok WMO yang secara geografis berada di wilayah lepas pantai Desa Labuhan, Kecamatan Sepulu.
“Kita ini memang binaan dari PHE WMO. Jadi, hasil dari omzet pendapatan pengelolaan taman pendidikan mangrove ini nanti, masuknya kepada kelompok,” jelasnya.
Sementara itu, Relations Manager Regional 4 Indonesia Timur Sub Holding Upstream Pertamina, Iwan Ridwan Faizal mengaku program ini adalah CSR dari PHE WMO untuk pengembangan di pesisir lepas pantai.
“Di Labuan ini, PHE WMO tidak hanya melakukan pengembangan wisata pantai saja, tetapi juga fokus pada kegiatan lingkungan dan pendidikan. Hasil dari konservasi lingkungan di Labuhan sudah dapat dilihat dari kerapatan mangrove yang terus meningkat setiap tahunnya,” katanya.
Selain itu PHE WMO juga melakukan konservasi terumbu karang dengan menanam 80 kubah beton berongga. Sehingga, hasil dari konservasi mangrove dan terumbu karang saat ini, Labuhan sudah tidak lagi mengalami abrasi.
Bahkan, kata Ridwan, jika dilihat dari sisi sosial, ekonomi dan kesejahteraannya, program di Labuan ini telah dapat menarik minat 145 kepala keluarga (KK) pekerja migran untuk kembali mengembangkan desanya dalam mengelola wisata.
“Jadi, Pokdarwis ini tidak hanya fokus pada mengelola jasa wisatanya saja, tetapi mereka juga menyediakan katering dengan salah satu menu khas urap dan kopi mangrove khas Labuhan,” jelas Iwan.
“Semoga, kolaborasi multi-stakeholder ini terus menjadi kunci keberhasilan dan keberlanjutan program dalam penciptakan nilai. Karenanya PHE WMO berterima kasih kepada semua stakeholder yang terlibat sehingga program CSR PHE WMO dapat berjalan dengan baik,” pungkas Iwan.
Sementara itu, Wakil Direktur bidang riset, Pengabdian Masyarakat, Digitalisasi dan Internasionalisasi Pascasarjana Universitas Airlangga Surabaya, Dr. Suparto Wijoyo, menyarankan PT Pertamina Hulu Energi West Madura Offshore (PHE WMO) mengembangkan realisasi Corporate Social Responsibility (CSR)-nya khususnya di wilayah Kabupaten Bangkalan.
“Saya memberikan satu catatan bahwa sebuah CSR itu harus sungguh sungguh merefleksikan sebuah corporasi cinta sesama rakyat. Untuk itu, saya sebut CSR cinta sesama rakyat dalam perspektif wujud dari demokrasisasi sebuah keputusan corporasi dengan dekat sama rakyat melalui program yang melibatkan masyarakat,” ujarnya.
Dimana Corporasi tersebut menurut Suparto, mendapatkan Sumber Daya Alam (SDA) maka secara tidak langsung corporasi mendapatkan keuntungan secara ekonomi. Namun, catatan pentingnya, corporat ini harus bahkan wajib berbagi kepada rakyat terdampak.
“Kalau seperti itu maka disebutkan corporasi tahu diri. Kalau tahu diri maka bagian dari konsep internasionalnya adalah keputusan yang demokratis dan partisipatoris memperhatikan lingkungan, sosial, ekonomi dan kesejahteraan masyarakat,” ungkapnya.
Kemudian menurutnya, dengan partisipasi corporasi itu lingkungan harus lebih terjaga karena menyangkut sistem ekologi. Dimana melibatkan masyarakat melalui corporate social responsibility (CSR) terhadap warga terdampak. CSR mengembangkan apa yang dibutuhkan masyarakat baik dari tanaman pangan seperti urusan cabe, semangka, sehingga daya beli bisa meningkat.
“Artinya, lingkungan terjaga dan sumber air tadi yang digunakan juga terfasilitasi. Kemudian lahan lahan tidur juga bisa menjadi produktif dan gerakan masyarakat bekerja terjadi. Kemudian lingkungan diperhatikan, maka yakinlah secara otomatis profit masyarakat juga naik,” ungkapnya.
Setelah itu, ketika ada peningkatan profit maka selanjutnya yang perlu diperhatikan oleh corporasi terhadap Pokdarwis Payung Kuning adalah pengetahuan managemen keuangan keluarga.
“Dalam mengatur keuangan keluarga maka harus memperhatikan poros gender. Maka para ibu rumah tangga harus dibekali pengetahuan managemen keuangan keluarga. Ibu ibu harus dilibatkan dan ternyata tahun 2022 Pertamina sudah merencanakan program untuk melibatkan perempuan dalam urusan penerapan CSR lebih besar,” tandas Suparto.
Menurut Suparto melibatkan perempuan merupakan hal tepat karena poros gender internasional diharapkan perempuan mampu memiliki tata mengelola, tata kelola keuangan. Finansial keuangan bisa, ecologi managemen bisnis bisa, keluarga bertahan, kesejahteraan meningkat. Jadi lingkungannya selamat, kesejahteraan meningkat.
“Untuk itulah makna ekonominya tadi besar, catatan Demokratisasi, ekologi, gender dan lingkungan,” ungkapnya
Ekowisata labuhan ini gerakannya tentang mangrove labuhanisasi, sudah lihat, dengan mangrovenisasi, maka dapat disaksikan mangrovenya dapat dikelola, abrasi pantai dapat dicegah. Kemudian urusan pencemaran dapat diatasi melalui serapan magrove sehingga kondisi pantainya lebih jernih dan ekosistem terjaga.
Dia juga membandingkan kondisi pantai di Camplong yang selalu mengalami abrasi sampai pada jalan termakan. Karena tidak dilakukan pelestarian, konservasi kawasan mangrove.
Dan tanggung jawab besar kedepan adalah bagaimana pemerintah meningkatkan dengan bekerjasama corporasi, pertamina. Kemudian ada Mangrovesisasi perawatan oleh kelompok sadar wisata.
“Bisa gunakan uang APBD yang semula untuk konservasi itu bisa direcofusing untuk program pengembangan UMKM. Kalau UMKM kurang dan biaya lingkungan bisa berkurang karena urusan konservasinyakan ada CSR. Kalau sudah ada CSR berarti PAD yang ada di APBD itu yang struktur ekonominya semula untuk kawasan konservasi bisa dialihkan. UMKM apa ?, yakni UMKM pengembangan produk, bukan untuk konservasi tapi pengembangan produk,” terangnya.
Contoh yang sudah ada kata Suparto, seperti Kopi Magrove, sirup magrove dan seperti pembuatan batik magrove, hal seperti ini bisa dipelajari sehingga UMKM disini lebih hidup.
“Maka apa yang terjadi, lingkungannya selamat, enokomi meningkat, kreatifitas masyarakat tumbuh. Apalagi gender lebih aktif sesuai peran. Bisa seperti peran pengelolaan produk produk yang berbasis magrovenya,” paparnya.
Suparto juga menyarankan agar membangun Bangkalan harus sesuai dengan kekayaan lahan, kandungan air kemudian kecepatan anginnya.
Dan itu harus diperhatikan di Desa desa untuk pengembangan ekosistem pangan seperti ekosistem mangga spesial. Yang ada namanya kampung nangka, kampung mangga dengan di fasilitasi oleh tiga kolaborasi tersebut.
Maka, urusan pangan tidak akan pernah krisis pangan di Bangkalan karena sudah ada kampung tematik dalam arti produk kemudian dari produk ini ada produk turunan. Kalau ekosistem ini dibangun, maka pangan tidak ada persoalan.
Akan tetapi, dari semua catatan ini harus ada Saince. Harus ada pelatihan untuk meningkatkan kemampuan masyarakat. Baik dengan cara mengadakan sosialisasi kegiatan gerakan penguatan masyarakat di bidang lingkungan, melibatkankan tokoh agama.
“Disini saya melihat ada transformasi, ada leadership transpormatif diurusan ini melalui tokoh tokoh agama yang akan menjadi katalisaktor ekologi. Seperti di Desa Bandang Dajah ada tokoh agama yang bisa diberdayakan, untuk transformasi pengetahuan melalui pertanian. Dia dijadikan figur yang merekrut, untuk menjadi tokoh besar dan menghidupkan Desa yang produktif. Maka inilah satu transformasi gerakan lingkungan berbasis ekologi yang punya payung religiuse,” pungkasnya.
“Ini menurut saya satu transformasi yang unik dan mudah mudahan ini menjadi basis pengembangan. Bisa mengkolaborasikan itu menjadi engker ruh gerakan CSR berbasis yang sangat demokratis, ekologis, ekonomis, pangan Siancetis dan religi,” tandasnya.
Sementara menurut Executive Director ECOTON, Prigi Arisandi menyampaikan, setelah melihat secara langsung pengembangan dan realisasi bantuan CSR pertamina PHE WMO memang perencanaannya dikonsep pembangunan berkelanjutan.
“Kita menemukan contoh konkrit bagaimana kemudian model CSR yang berkepanjangan. Ada prinsip tiga P yang kita lihat, jadi ada prioritas peoplenya, prioritas planetnya, baru kemudian ada profit,” ungkapnya.
Jadi, menurut Arisandi memang harus seperti inilah seharusnya konsep CSR. Bukan malah bagi-bagi uang dan membangun infrastruktur, tapi kemudian juga membangun produk berkelanjutan.
“Model CSR ini sebenarnya model sederhana namun infeknya pada masyarakat sangat luar biasa. Jadi cara mudah dan menginspirasi masyarakat untuk melakukan hal yang sama,” terangnya.
Akan tetapi Prigi juga menyarankan, agar bantuan CSR tidak terfokus pada satu titik pengembangan di satu kawasan. Sebab, isu lingkungan tidak terfokus pada satu wilayah, akan tetapi wilayah lain juga perlu diperhatikan agar pembangunan berkelanjutan ini merata.
“Tinggal bagaimana model kerja dari kawasan yang mendapat CSR dan bagaimana pengembangan CSR dilain tempat menjadi icon baru hasil perbantuan dari CSR tersebut. Sehingga tidak ada gesekan sosial jika sudah ada pemerataan,” pungkasnya.