Hari Selasa 30 April 2024, kita masyarakat Gorontalo, khususnya di Kabupaten Gorontalo Utara (Gorut), tengah dihebohkan dengan adanya dampak dari aktivitas erupsi Gunung Ruang, di Kabupaten Sitaro, Provinsi Sulawesi Utara.
Pasalnya, erupsi Gunung Ruang yang dikabarkan memuntahkan abu vulkanik hingga setinggi lima kilo meter ini, turut berimbas sampai ke wilayah Provinsi Gorontalo, tak terkecuali di Kabupaten Gorut.
Tak butuh waktu yang lama, kabar tentang Kabupaten Gorut juga terdampak aktivitas erupsi ini pun, langsung bertebaran di media massa mapun di media sosial, dan hingha kini masih hangat-hangatnya ramai diperbincangkan.
Berdasrkan kabar yang beredar, Bandara Djalaludin Gorontalo ditutup sementara, kenderaan roda dua maupun roda empat di sejumlah tempat yang terkena abu vulkanik, adalah dampak yang saat ini dikabarkan sebagai dampak aktivitas erupsi Gunung Ruang hari ini.
Beberapa waktu yang lalu, Kabupaten Gorut bahkan seluruh Provinsi Gorontalo juga dihebohkan dengan terjadinya banjir yang melanda Kecamatan Tolinggula dan sekitarnya. Intensitas hujan yang turun saat itu selama beberapa hari, menyebabkan 10 desa di sana terendam banjir, dengan ketinggian air mencapai sekitar 1.5 meter.
Alhasil, berdasarkan data Pusdalops Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), sebanyak 8.228 jiwa menjadi korban bencana tersebut, dan kerugian materil tercatat 2.764 unit rumah. Satu unit rumah diantaranya, mengalami rusak berat karena hanyut terseret arus banjir.
Meski tak ada korban jiwa yang meninggal, tetap saja, bencana yang melanda Kecamatan Tolinggula, Kabupaten Gorut menyisakan duka bagi para korban, yang hari ini mungkin masih meninggalkan trauma didalam benak mereka.
Lantas, siapakah yang akan dimintakan pertanggungjawaban atas terjadinya banjir di Kecamatan Tolinggula? Apakah masyarakat? Ataukah pemerintah? Atau bahkan Tuhan yang telah menakdirkan bencana itu terjadi? Mari hal ini kita urai untuk menemukan jawabannya, dengan menggunakan metode sebab-akibat, dan semoga menjadi bahan refleksi kedepan.
Alam, selalu saja menunjukan eksistensinya sebagai bukti kebesaran Sang Maha Pencipta. Setiap perubahan yang terjadi dengan alam, dapat menunjukan kasih sayang illahi, atau disisi lain menjadi “vonis Tuhan” atas “gugatan” terhadap perbuatan buruk manusia.
Aktivitas erupsi Gunung Ruang, merupakan hal yang lazim terjadi jika kita berdasar pada ilmu vulkanologi. Jika menggunakan pendekatan sebab-akibat, erupsi merupakan serangkaian proses alamiah gunung berapi, tanpa campur tangan manusia di dalamnya.
Tetapi, bagaimana dengan banjir yang melanda Kecamatan Tolinggula baru-baru ini? Apakah faktor penyebabnya ada campur tangan manusia di dalamnya?
Jika menggunakan pendekatan ilmu klimatologi dan geofisika, banjir diakibatkan oleh karena intensitas curah hujan yang tinggi. Selain itu, curah hujan yang tinggi, tak mampu ditampung oleh sungai yang mengalami pendangkalan dan penyempitan.
Pedangkalan sungai, disebabkan oleh sedimentasi yang terbawa air saat turun hujan. Masalah ini, bersumber dari wilayah pegunungan yang mengalami deforestasi. Parahnya lagi, deforestasi diperburuk lagi oleh aktivitas yang mengurangi pepohonan di wilayah pegunungan, dengan tujuan pembukaan lahan perkebunan.
Selain itu, penyebab utama laju deforestasi adalah, aktivitas penebangan pohon untuk tujuan komersial dalam skala besar, dengan intensitas hampir setiap hari terjadi. Akibatnya, air hujan tidak terserap baik dan malah meluncur dengan bebas lewat permukaan tanah, dan membawa sedimen yang tidak tertahan lagi oleh akar pohon.
Lalu, bagaimana dengan penyempitan sungai? Penyempitan sungai terjadi karena beralih fungsinya wilayah aliran sungai menjadi pemukiman, atau menjadi tempat-tempat yang memiliki bangunan permanen. Penyempitan sungai, pada umumnya hanya biasa terjadi di kota-kota besar di Indonesia, seperti DKI Jakarta dan yang lainnya.
Di Kecamatan Tolinggula, penyempitan sungai bukan menjadi faktor utama penyebab terjadinya banjir. Melainkan, terjadinya pendangkalan sungai yang diperparah oleh lajunya deforestasi, sehingga kapasitas sungai tak lagi mampu menampung air hujan yang turun.
Beberapa solusi memang telah dilakukan oleh pemerintah, baik yang telah direalisasikan maupun yang sementara masih diupayakan. Namun, solusi dengan membuat tanggul pada bibir sungai, atau melakukan pengerukan terhadap sungai, bukan menjadi solusi patent untuk menanggulangi banjir.
Solusi-solusi itu hanya bersifat sementara. Selama laju deforestasi tidak bisa dikendalikan, selama itu juga sungai akan terus mengalami pendangkalan. Miliyaran anggaran yang digelontorkan untuk pembangunan itu semua, hanya akan terbuang percuma dan akan terus berulang. Ibaratnya, kita terus menggarami lautan.
Pemerintah dalam persoalan ini, tak perlu menggelontorkan milyaran bahkan triliunan anggaran untuk membuat solusi agar tidak terjadi banjir. Pemerintah, hanya butuh konsistensi terhadap penegakan aturan terkait hutan dan lingkungan tanpa pandang bulu, yang didahului dengan sosialisasi terhadap masyarakat untuk membangun kesadaran tentang pentingnya menjaga alam.
Sebab, betapapun kita menggugah Tuhan agar tak ditimpa bencana. Seberapa kuat pun kita membendung kekuatan alam dengan benteng yang kokoh, alam hanya menunjukan eksistensinya sebagai bukti kebesaran dan kekuasan Illahi Rabb. Maka, setiap bencana yang terjadi, adalah “vonis Tuhan” atas “gugatan” alam terhadap perbuatan buruk manusia.
Oleh: Mohamad Yusrianto Panu, Jurnalis dan Penggiat Literasi.