Banda Aceh || Rega Media News
Drama bertajuk “benci-benci namun rindu jua” patut disematkan dalam adegan sandiwara yang kini dilakonkan oleh legislatif dan eksekutif Aceh. Pasalnya, di publik legislatif dalam hal ini seakan-akan begitu memprotes keras kebijakan-kebijakan Pemerintah Aceh yang tak betul.
Namun, pada dasarnya yang dilakukan adalah mencolek bagian-bagian yang tak begitu subtansial untuk menutupi subtansi persoalan yang mesti dilakukan legislatif sebenarnya.
“Adegan berjudul penolakan Raqan Pertanggungjawaban Gubernur Tahun 2020 tersebut sebenarnya bukanlah sesuatu yang luar biasa dari kinerja DPRA dalam menjalankan fungsi pengawasan,” ungkap koordinator Gerakan Mahasiswa Pemuda Aceh (GMPA) Muhammad Jasdi kepada media, Jum’at (03/08/21).
Karena berdasarkan UU nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah hingga UUPA sendiri, tak ada konsekuensi hingga sanksi sama sekali bagi pemerintah daerah apabila pertanggung jawabannya ditolak legislatif.
“Apalagi, sampai hari ini tidak ada satupun subtansi persoalan yang ditemukan dan ditindaklanjuti ke ranah yang lebih serius. Publik hari ini kembali terkecoh, karena masih ada beberapa PR utama DPRA dalam menjalankan fungsi pengawasannya,” ucapnya.
Namun, pandangan publik seakan sengaja dialihkan kepada persoalan pertanggung jawaban ini, dikarenakan pembagian kue refocusing DPR Aceh minim peluang mendapat bagian, sehingga tentunya mereka tidak berkenan menjadi pihak yang bertindak mencuci piring yang telah dikotori.
Menurut pria yang akrab disapa Jhon itu, pergelokan penolakan pertanggungjawaban Gubernur itu sendiri seakan-akan sengaja disetting dengan cara dramatis mungkin sehingga sedramatis mungkin agar publik tertarik dan terfokus perhatiannya.
“Inikan sengaja disetting ibarat pertandingan persahabatan bola dengan skor 5-4 yang menunjukkan DPRA menang tipis atas Gubernur sehingga begitu menarik bagi publik, dan seakan menjelaskan hak angket semakin tak mungkin dilanjutkan,” tandasnya.
Padahal, di lain hal ada PR penting dalam pengawasan DPRA yang terabaikan. Beberapa diantara persoalan tersebut diantaranya kejelasan pengawasan yang dilakukan DPRA terkait kinerja-kinerja Pansus Tindak Lanjut temuan BPK RI dan Pansus Pengadaan Barang dan Jasa serta kejelasan tindak lanjut hak angket yang tertunda.
Menurut Jhon, seharusnya pansus DPRA terkait persoalan temuan BPK sudah membongkar ke publik semua temuan yang belum ditindaklanjuti dan hasil tinjauan ke Lapangan. Begitu juga halnya dengan Pansus PBJ yang seyogyanya juga telah membongkar semua persoalan terkait pengadaan barang dan jasa di ULP Aceh yang didengung-dengungkan ada monopoli hingga pelanggaran tersebut.
“Faktanya hingga saat ini yang disampaikan Pansus DPRA itu juga pinggir-pinggirnya doank, sementara temuan-temuan yang didapatkan tak kunjung ditindaklanjuti ke tahap yang lebih serius. Bahkan temuan tersebut berpotensi dijadikan alat negosiasi untuk memuluskan rindu bertajuk ‘proyek pokir’. Jadi, perumpamaan ‘dilikeu tampa Ngon Jaroe Wie, Dilikot Gusuk Ngon Joe Neun’ sangat tepat dengan adegan yang tengah dimainkan DPRA saat ini,” katanya.
Tak hanya itu, Jhon juga menyinggung persoalan perdebatan di tataran pansus DPRA terkait tindak lanjut temuan BPK RI dan eksekutif tentang waktu menindaklanjuti temuan.
“Inikan ada 2 versi, disatu sisi masih berpegangan 60 hari kerja yakni sampai tanggal 22 Juli 2021, namun secara jelas di dalam UU Nomor 15 tahun 2004 dan Peraturan BPK nomor 2 Tahun 2017 disebutkan waktunya 60 hari kalender atau sampai tanggal 3 Juli 2021,” jelasnya.
Intinya jika mengacu pada aturan itu terdapat lebih dari 96 dari 245 temuan BPK RI belum ditindaklanjuti pada batas waktu yang ditetapkan. Apa langkah kongkret DPRA selanjutnya, inikan harus dipertanyakan apalagi temuan yang belum ditindaklanjtuti itu tak disampaikan ke publik, padahal DPRA sudah ke lapangan dan fakta yang ditemukan bisa jadi lebih detail.
Tak hanya itu, begitupun dengan pansus PBJ, mana temuan pelanggaran yang akan ditindaklanjuti, kecuali rekomendasi mempercepat serapan anggaran agar anggaran pokir dapat terealisasi. Bahkan kenapa DPRA tak berani meminta lembaga berkompeten melakukan audit forensik terkait PBJ di Pemerintahan Aceh.
“Ini adalah dasar bahwa sangat pantas dikatakan semua skema yang dilakukan tak lebih untuk negosiasi memuluskan laju realisasi pokir,” lanjutnya.
Masih kata Jhon, fakta menunjukkan bahwa “adegan rindu” bertajuk Pokir dewan sudah di akomodir, sehingga semakin jelas bahwa ternyata DPRA selama ini hanya berteriak di depan masyarakat saja, tetapi di belakang terbukti melakukan deal-dealan politik dengan gubernur, bagaimana tugas pengawasan bisa berjalan apabila kucing dan tikus masih makan bersama.
Berdasarkan pantauan kami, pasca adegan sandiwara legislatif dan eksekutif berhasil dan bisa jadi negosiasi drama telah tercapai, para koordinator pokir dewan sudah mulai memasuki gedung BPBJ.
“Info yang kami telusuri, semua pekerjaan Pokir dewan yang ditender dikoordinir oleh salah satu kasi di BPBJ inisial AU. Dimana tugas saudara AU ini menjembatani para dewan dengan para pokja, dan saudara AU memaksa para pokja untuk memenangkan paket pokir sesuai arahan dewan. Bisa jadi ini bagian terkait dari isu tentang kehadiran mendadak kepala ULP atas panggilan ke gedung DPRA tengah malam pasca pembahasan RPJ yang sempat tersebar di medsos,” bebernya.
Pengarahan pemenang dalam tender yang dilakukan berpotensi melanggar Perpres Nomor 12 tahun 2021 tentang pengadaan barang/jasa pemerintah.
“Apabila pokir dewan di akomodir apa nantinya tidak melanggar hukum dalam pelaksanaan lelang apabila dilakukan pengarahan dan pengaturan khusus seperti itu. Ditambah lagi dengan penggunaan otsus yang diperuntukkan untuk pokir yang nilainya di bawah Rp. 500 juta atau bahkan PL juga sudah ditayang di ULP saat ini.
Menurutnya, Qanun tentang pelaksanaan Dana Otsus yang dibuat sendiri oleh DPRA yang membatasi penggunaan otsus Rp. 500 juta agar penggunaan otsus terukur dan tidak dipergunakan untuk hal receh-receh.
“Sumber mayoritas program pokir DPRA itu sebelumnya hampir semua dari Otsus, dan tidak terjadi perubahan karena belum dilakukan APBA Perubahan. Tapi, fakta menunjukkan di LPSE sebagian pokir yang telah tayang anggarannya Rp. 200 juta ke bawah. Inikan berpotensi melanggar Qanun Penggunaan Otsus yang telah dibuat oleh legislatif sendiri yang menyatakan penggunaan otsus harus untuk program yang besarannya minimal Rp.500 juta dan sampai detik ini Qanun itu masih berlaku, belum dirubah,” pungkasnya.