Opini  

Putusan MK Bukan Lonceng Kematian

Caption: Thariq Modanggu.

Mendebarkan, harap-harap cemas, khawatir, ragu, yakin, pesimis, optimis, ditolak permohonan, diterima permohonan, kalah, menang, serta sejumlah rasa yang tak terucap hampir bisa dipastikan campur aduk silih berganti mendera banyak orang, setidaknya di 20 daerah di Indonesia yang menanti Putusan sidang Mahkamah Konstitusi (MK) pada senin 24 Pebruari 2025.

Tulisan singkat ini, mesti saya akui di awal, lahir karena ditagih secara intelektual oleh dua orang adik di lapis generasi sesudah saya: Mirnawati Modanggu dan Ghalib Lahijun. Mirnawati adalah adik biologis-ideologis sementara Ghalib adalah adik ideologis-politis saya.

Empat hari yang lalu Mirnawati menelpon saya yang intinya mendorong saya untuk bikin kata-kata atau caption tentang putusan MK terlepas dari apapun hasilnya. Lalu kemarin, saat makan siang bersama, dengan nada berkelakar Ghalib bilang  “Bang biasanya sudah ada tulisan menunggu putusan MK, misalnya Putusan MK perspektif Teologis”. Saya hanya tersenyum sembari mengangguk, belum terlintas keinginan untuk menulis.

Namun ada rasa senang yang merayap saat itu karena tema-tema kajian teologis saya sebelum terjun di arena politik ternyata masih berbekas dalam pikiran adik saya ini walau saat ini ia telah menjadi anggota DPRD Provinsi Gorontalo. Alhamdulillah berkat energi dan pencerahan subuh “tagihan intelektual” dari kedua adik itu bisa saya penuhi.

Dua hari lagi Mahkamah Konstitusi akan membacakan putusan: ”menolak permohonan Pemohon atau menerima permohonan Pemohon”. Apapun putusan MK sesungguhnya tidak akan merubah “hukum dasar kehidupan” bahwa kita hidup atau tepatnya kita bisa bertahan hidup karena bantuan orang lain.

Kita bisa ada di level saat ini karena akumulasi jasa-jasa orang lain, yang kita sadari atau tidak, yang kita kenal atau tidak sama sekali. Bisa jadi karena itulah al-Qur’an memberi peringatan keras dengan ganjaran kehinaan bila kita memutuskan silaturrahim (tali kasih sayang) termasuk di dalamnya menyakiti orang lain, apalagi ”menyakiti” yang dipublikasi secara luas dan terang-terangan di media sosial.

Lebih dari itu, pasca putusan Mahkamah Konstitusi, atau tepatnya pasca pemimpin daerah dilantik, mustahil sang pemimpin bisa memenuhi semua tuntutan dari seluruh rakyat dan seluruh tim pemenangan dalam waktu sekejap.

Tentu saja setiap pemimpin punya kelemahan dan kekurangan. Tak seorang manusia pun yang sempurna memang!  Tak seorang pun yang bisa bekerja sendiri, sehebat, secerdas, sekuat dan sekaya apapun dia. Selalu saja ada ruang kritik, ruang partisipasi, ruang tolong-menolong, ruang saling mengontrol, ruang untuk saling mengingatkan.

Belum lagi kondisi kemampuan daerah yang pasti tidak cukup untuk memenuhi setiap tuntutan dan ambisi setiap orang, ditambah lagi peraturan yang makin ketat dan ada penghematan (bahasa halus pemotongan) di sana-sini.

Itu sebabnya, keputusan Mahkamah Konstitusi yang tengah dinanti banyak orang bukanlah lonceng kematian. Sebaliknya ia menjadi lonceng kehidupan baru. Bagi yang menganggap atau dianggap sebagai pemenang tersaji tantangan untuk menunaikan amanah besar dan tidak ringan yang akan ditagih oleh generasi dan dipertanggungjawabkan hingga di hadapan Tuhan.

Sementara yang menganggap atau dianggap kalah tersaji kesempatan besar untuk bangkit menata dan memperkuat sumberdaya sebab banyak hal sesungguhnya yang bisa kita lakukan untuk kehidupan yang lebih baik di masa depan.

Di dalam pergumulan hidup termasuk pertarungan politik kita manusia terikat pada rumus dasar: “Dan hari-hari pun dipergilirkan diantara manusia, di perang Badar kamu menang, di perang Uhud kamu kalah” Begini kurang-lebih peringatan Tuhan dalam al-Qur’an dengan memberi ilustrasi kemenangan pasukan Rasulullah dalam perang Badar dan kekalahan di dalam perang Uhud.

Dibalik ”pergiliran menang-kalah” disitu ada uji standar kemanusiaan kita: pejuang atau penghianat, bersyukur atau kufur, beramal shaleh atau beramal buruk, menghabiskan umur demi kemaslahatan orang banyak, atau kesenangan pribadi. Semua akan teruji dan terbukti pada waktunya. Wallahu a’lam bissawab.

Oleh: Thariq Modanggu