Daerah  

AMMPD Menganggap Perda Nomor 10 tahun 2016 Tentang Perangkat Desa Sebagai Produk Hukum Yang Ilegal

Karikatur Arief Rahim - aktivis AMMPD.

Gorontalo, (regamedianews.com) – Kabupaten Gorontalo selain sebagai Daerah madinatul ilmi dengan cita-cita bersama untuk menciptakan masyarakat madani, Kabupaten Gorontalo juga merupakan daerah dengan jumlah desa terbanyak se Provinsi Gorontalo yaitu 205 desa. Oleh karena itu, untuk mencapai cita-cita bersama tersebut setiap kebijakan yang berlaku di masyarakat desa tidak lepas dari peran penting perangkat desa, dan perangkat desa itu sendiri merupakan perpanjangan tangan Pemerintah Daerah di desa.

Arief Rahim aktivis AMMPD menerangkan, sebagai negara hukum yang berlandaskan pada undang-undang, maka daerah tentunya harus memiliki Peraturan Daerah (Perda) yang khusus mengatur tentang Perangkat Desa, dan Perda ini dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), diberlakukan sesuai persetujuan bersama Bupati dan tentunya berdasarkan pada ketentuan Perundang-Undangan.

“Perda itu sendiri memiliki beberapa fungsi yaitu sebagai instrumen kebijakan untuk melaksanakan Otonomi Daerah dan tugas pembantuan sebagaimana Amanat UUD Tahun 1945 dan Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah, kemudian, fungsi yang kedua sebagai penampung kekhususan dan keragaman Daerah, serta penyalur aspirasi Masyarakat di Daerah. Namun, pengaturannya tetap dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945″, ungkap Arief.

Lebih lanjut arief menjelaskan bahwa fungsi yang ketiga yaitu sebagai alat pembangunan dalam meningkatkan kesejahteraan Daerah, sedangkan Fungsi yang keempat adalah sebagai peraturan pelaksanaan dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

Namun ada yang aneh menurut Arief, yaitu pada Perda Nomor 10 tahun 2016 tentang Perangkat Desa Kabupaten Gorontalo, bahwa Perda tersebut dianggap illegal karena cacat materil karena tidak dituangkan atau tidak dituliskan di dalam Perda tersebut, bahwa Perda tersebut sudah berdasarkan persetujuan bersama Anggota DPRD dan Bupati, sementara Perda tersebut telah ditetapkan atau berlaku sudah sejak tahun 2016 yang lalu.

Padahal sangat jelas diatur pada Undang-Undang bahwa Peraturan Daerah Kabupaten/Kota pada Pasal 1 ayat 8 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang berbunyi: “Peraturan Daerah Kabupaten/Kota adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota dengan persetujuan bersama Bupati/Walikota”.

“Sangat disayangkan Perangkat Desa di Kabupaten Gorontalo selama ini diatur oleh Peraturan Daerah berdasarkan Perda nomor 10 tahun 2016 tentang Perangkat Desa, yang bersifat ngawur atau ilegal karena tidak sesuai amanat Perundang-Undangan, Maka dalam hal ini Bupati sebagai yang menetapkan, perlu bertanggung jawab karena Perda tersebut tidak sesuai dengan pedoman pembentukan Perda,” tambah Arief lagi.

Sementara itu, Kabag Hukum Pemda Kabupaten Gorontalo Jesse A. Kojongkam saat dihubungi melalui seluler mengatakan, Perda ini legal, hanya ada kesalahan pengetikan saja. Perancangan, Perumusan dan Pembahasan sampai Pemberlakuannya sudah sesuai aturan, cukup panjang prosesnya.

“Sebelum masuk dan dibahas bersama DPRD, sebuah Ranperda dimatangkan di internal Pemda, lalu Konsultasi Publik, di sempurnakan lagi, kemudian ke DPRD. Saya kira itu hanya kesalahan pengetikan dan tidak berdampak kepada sah atau tidak berlakunya Perda dimaksud”, kata Jesse A. Kojongkam.

Menanggapi jawaban Kabag Hukum, Arief Rahim mengatakan jika Kabag Hukum beranggapan bahwa itu hanya sekedar kesalahan pengetikan, itu anggapan yang keliru, karena pengertian dari kesalahan pengetikan itu ialah ada salah satu huruf atau angka yang salah dalam sebuah kalimat dalam penulisan.

Akan tetapi ini permasalahan lain, yaitu tidak ada dicantumkan atau dituliskan dengan berdasarkan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Bupati. Berarti Perda ini hanya sepihak tanpa melibatkan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah karena hanya Bupati yang disebutkan di Perda tersebut. Sekali lagi perda ini cacat materil dan ini sangat fatal.

“Salah ketik itu berarti ada salah satu huruf yang hilang atau keliru, tetapi ini ada beberapa kalimat yang hilang atau diduga sengaja dihilangkan, ini tidak boleh dianggap sepele oleh Pemerintah Daerah, karena bisa berimplikasi pada kedudukan ataupun legalitas Perangkat Desa”, tegas Arief. (onal)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *