Opini  

Hardiknas dan Semboyan Ki Hajar Dewantara

Oleh : Mohamad Yusrianto Panu/Ketua Pemerhati Jurnalis Siber Gorontalo Utara.

Hari ini tepat di tanggal 2 Mei 2023, kembali masyarakat dunia pendidikan di tanah air Indonesia, memperingati Hari Pendidikan Nasional atau yang biasa disingkat Hardiknas.

Seantero penjuru negeri ini, biasanya memperingati Hardiknas dengan berbagai macam kegiatan yang bersifat edukatif. Namun, yang selalu saja dilakukan adalah menggelar upacara yang dilaksanakan di lingkungan pemerintah, dari tingkat kabupaten/kota sampai ke pusat.

Berbicara tentang Hardiknas dan dunia pendidikan, tidak akan jauh keterkaitannya dengan seorang tokoh pahlawan nasional bernama Ki Hajar Dewantara, yang secara history kemerdekaan bangsa indonesia, berperan besar dalam mencerdaskan anak-anak bangsa lewat dunia pendidikan.

Begitu eratnya keterkaitan sosok yang ditetapkan sebagai Bapak Pendidikan Nasional itu dengan dunia pendidikan, hingga tanggal kelahirannya pun, ditetapkan sebagai Hari Pendidikan Nasional atau Hardiknas.

Tak hanya itu, tiga semboyan Ki Hajar Dewantara yang berbahasa jawa, Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handyani, hingga kini digunakan sebagai pedoman di dalam dunia pendidikan kita di Indonesia.

Semboyan Ki Hajar Dewantara inilah, yang akan menjadi pokok ulasan kita kali ini. Dimana, semboyan itu tak hanya dapat digunakan sebagai pedoman dalam dunia pendidikan, akan tetapi dapat dijadikan sebagai pedoman atau nilai dasar prinsip kepemimpinan yang ideal.

Semboyan Ki Hajar Dewantara Dalam Dunia Pendidikan

Etimologinya, Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handyani, adalah bahasa Jawa yang berarti, Di Depan Memberi Teladan, Di Tengah Membangun Gagasan, Di Belakang Memberi Dorongan.

Sehingga secara harfiah, Ing Ngarsa Sung Tuladha memiliki makna, Guru yang selalu berada di depan anak-anak didiknya, tidak hanya berkewajiban untuk mengajarkan ilmu pengetahuan, akan tetapi wajib menjadi contoh teladan yang baik bagi peserta didik, sebagai bagian dari membangun karakter anak-anak didiknya.

Sedangkan Ing Madya Mangun Karsa memiliki makna, Guru yang berada ditengah-tengah anak-anak didiknya harus mampu membangun kemauan peserta didik untuk belajar dan berpikir, dengan merangsang murid-muridnya untuk menciptakan ide dan gagasan, serta membantu menghidupkan daya imajinasi anak.

Sementara makna dari Tut Wuri Handayani sendiri adalah, Guru harus mampu mengetahui minat dan bakat anak-anak didiknya. Sebab, pada dasarnya, semua anak-anak memiliki minat dan bakat masing-masing yang juga berpengaruh pada perkembangan karakteristik peserta didik.

Sehingga dalam hal ini, setelah Guru memahami berbagai minat dan bakat anak-anak didiknya masing-masing, Guru dapat memberikan dorongan atau motivasi sesuai dengan kebutuhan anak itu, untuk mengembangkan potensi yang ada di dalam dirinya, agar dapat menggapai apa yang dicita-citakan oleh anak-anak didiknya.

Semboyan Ki Hajar Dewantara Sebagai Nilai Dasar Prinsip Kepemimpinan Mulai Memudar

Ditengah perkembangan zaman saat ini, dengan berbagai persoalan yang tengah dihadapi oleh negara ini, jika diamati lebih dalam yang paling besar berpengaruh adalah, kita kini tengah menghadapi krisis keteladanan.

Hal itu, dikarenakan munculnya berbagai persoalan pelanggaran hukum yang justru melibatkan oknum-oknum pemimpin di negeri ini, yang kemudian dengan fulgar informasi tentang itu dapat kita jumpai di berbagai media massa dan media sosial.

Seperti di tahun-tahun belakangan ini, sedikitnya ada empat kepala daerah, yang tersandung kasus rasuah dengan bermacam modus. Keempatnya, kemudian menambah catatan panjang kepala daerah yang tersandung kasus korupsi, sebab sesuai data KPK RI, sejak tahun 2004 hingga Januari 2022, telah ada 22 oknum Gubernur dan 148 oknum Bupati/Walikota yang telah ditindak KPK RI.

Data itu mungkin akan bisa bertambah, jika digabungkan dengan data dari Kejaksaan dan Kepolisian. Sebab menurut data ICW, telah tercatat sejak tahun 2010 sampai dengan tahun 2018 sudah ada 253 kepala daerah yang ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi, oleh pihak aparat penegak hukum.

Data ini baru dalam konteks pelanggaran hukum pada kasus korupsi, dan baru hanya di seputaran pelakunya adalah oknum pejabat kepala daerah. Belum lagi, dengan pelanggaran-pelanggaran hukum soal kasus korupsi dan kasus lainnya oleh oknum pejabat lain yang menduduki jabatan sebagai pemimpin.

Tentu saja, dengan melihat fenomena-fenomena yang ada ini, begitu banyak para oknum pemimpin kita yang seharusnya sebagai orang yang dituakan memberikan keteladanan bagi yang dipimpinnya, membangun ide atau gagasan untuk orang-orang yang dipimpinnya agar berpikir maju, dan mendorong atau memotivasi yang dipimpinnya untuk berbuat yang bermanfaat bagi nusa dan bangsa, malah berbuat terbalik.

Entah tindakan mereka itu dilakukan dengan sengaja atau tidak, perbuatan mereka saat muncul ke permukaan publik, dengan terang telah menciderai nilai-nilai prinsip dasar kepemimpinan seperti yang terkandung dalam semboyan Ki Hajar Dewantara.

Selain dari itu, dampak dari perbuatan mereka itu juga, telah cukup menandakan saat ini kita sedang krisis keteladanan, dan nilai-nilai dasar prinsip kepemimpinan seperti yang terkandung dalam semboyan Ki Hajar Dewantara, perlahan mulai tergerus dan memudar.