Opini  

Thariq dan Gorontalo Utara Belum Selesai

Caption: Thariq Modanggu.

Oleh: Zulkarnain Musada, Penggiat Literasi dan Dosen Universitas Dumoga Kotamobagu.

Bellum omnium contra omnes, sebuah frasa Latin yang berarti “perang semua melawan semua”, adalah deskripsi yang diberikan Thomas Hobbes kepada eksistensi manusia dalam eksperimen pemikiran state of nature yang dia lakukan dalam De Cive (1642) dan Leviathan (1651). Penggunaan bahasa Inggris modern yang umum adalah perang “masing-masing melawan semua” di mana perang jarang terjadi dan istilah seperti “persaingan” atau “perjuangan” lebih umum.

Thomas Hobbes adalah seorang yang menganut hukum alam, bahwasanya hukum ini berpangkal pada keadaan manusia sebelum adanya negara. Dimana manusia masih bergantung kepada alam dan keadaan bebas dari ikatan maupun peraturan apapun, hal ini juga disebut dengan manusia inabstracto.

Namun dalam kondisi manusia inabstracto ini menimbulkan suatu permasalan bagi manusia itu sendiri sehingga menganggap manusia lain adalah musuh atau lawan karena adanya keinginan manusia untuk lebih unggul, lebih baik dan cenderung menguasai.

Apabila dalam kondisi satu manusia kalah maka akan mencari manusia yang memiliki tujuan yang sama dengan dirinya dan membentuk kelompok, lalu kelompok melawan satu orang, kelompok melawan kelompok hingga semua kelompok melawan semua kelompok.

Inilah yang disebut dengan bellum omnium contra omnes, yaitu dimana setiap orang selalu memperlihatkan keinginan-keinginannya yang sangat bersifat egoistis. Dan dalam kondisi bellum omnium contra omnes tidak ada hukum yang berlaku hanya nafsu manusia saja yang ada.

Itulah situasi besar yang kita rasakan sekarang ini. Kita seperti kehilangan arah tentang apa sebenarnya yang membuat kita bersepakat untuk hidup sebagai sebuah bangsa dan tinggal di daerah yang bernama Gorontalo Utara.

Kita seperti hidup sendiri-sendiri dan yang mengkhawatirkan kita seperti berperang melawan kita semua, “bellum omnium contra omnes”.

Mengapa seperti itu? Karena kita semakin tidak percaya satu dengan yang lain. Kita saling menunjuk kesalahan satu dengan yang lain, kita mencari kelemahan satu dengan yang lain, kita sedang berada dalam situasi di mana kita saling berperang satu dengan yang lain.

Dalam situasi seperti ini, maka manusia akan menjadi serigala bagi yang lain. Kita sedang berada dalam situasi yang dalam pepatah latin dikatakan sebagai: “homo homini lupus, bellum omnium contra omnes”.

Tentu saja demi kemajuan daerah, banyak pengorbanan yang harus diberikan oleh kita semua. Hanya dengan kemauan untuk memberikan kepada daerah, maka sebuah daerah akan bisa mencapai kemakmuran bersama. Itulah yang oleh Presiden AS John F. Kennedy dikatakan: “Jangan tanya apa yang bisa diberikan negara kepada kita, tanya apa yang bisa diberikan kita kepada negara.”

Segenap rakyat Gorut mampu menumbuhkan rasa kebersamaan dan mempunyai kemauan untuk berkorban untuk daerah ini, pemimpin harus mampu membangun rasa solidaritas. Pemimpin harus bisa mengikis dan menyadarkan pikiran-pikiran yang hanya saling menyalahkan serta keinginan untuk menang sendiri.

Di sinilah kita sering mengatakan bahwa kita membutuhkan pemimpin yang sekaligus seorang pemandu cita-cita. Seseorang yang tidak pernah memikirkan tentang nasibnya sendiri. Bahkan rela untuk mengorbankan kepentingan dirinya, demi kemajuan bangsa dan tanah leluhurnya.

Itulah yang dulu dimiliki oleh para pendiri bangsa ini. Bung Karno, Bung Hatta, Bung Sjahrir, Agus Salim, tidak pernah memikirkan apa yang didapatkan sebagai pejabat negara. Seluruh hidupnya mereka persembahkan untuk kepentingan negara.

Barangkali hidup manusia memang layak dianggap sebagai lelucon. Dia menangis ketika tiba dan ditangisi ketika pergi, bahkan disesali jika tak mampu berbuat apa-apa. Dipandang gagal dengan hakim tanpa pengadilan pikiran. Dan di antara semua itu, kita menemukan sebuah perjalanan yang tak jarang membuat terenyuh, seperti dalam drama komedi hitam saya mengingat Waiting for Godot untuk gagasan itu.

Thariq Modanggu tampaknya menemukan lelucon hidup dalam politik atau, tepatnya, dalam diktum Hobbes yang masyhur ini; perang semua melawan semua. Dan dalam perang itu, dengan caranya sendiri, Thariq selalu menjadi komandan yang paling tersamar dari pasukan yang paling sabar.

Mirip film The Ronin; kisah kehormatan samurai tak bertuan. Juga legenda The Admiral; roaring currents yang mengisahkan pertempuran Myeongnyang memimpin 12 armada tersisa untuk melawan 330 pasukan laut Jepang. Seorang laksamana armada laut Korea yang mengepung bala pasukan lawannya hanya dengan mengandalkan “hukum alam” almanak gelombang angin dan pusaran air laut.

Di awal karier politiknya, Thariq menanggalkan almamater cendekiawan dan melabuhkan pilihannya di Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan (PDI-P), yang menjadikannya politisi bernafaskan teknokratik. Thariq jelas tidak melangkah dengan kaki yang pincang, meski tidak pernah mengenakan alas kaki yang ringan.

Tokoh muda di usia 30-an mengakomodasi kepentingan pendahulunya agar merebut daerah otonom bukan perkara mudah. Saya menganggap itu sebagai berkah tersamar bagi langkahnya yang harus jauh lebih tajam kedepan. “Di Nusantara II Gorontalo Utara Dilahirkan, Di Gorontalo Utara Nusantara Dibesarkan”; bukanlah slogan tanpa ruh. Apalagi sekadar story media sosial semata.

Menjadi Gorontalo Utara adalah sebuah proses yang penuh ketegangan tapi juga sarat kedamaian. Barangkali karena mimpi kita 40 tahun itu bertabur suatu proses sejarah yang rumit, sejarah tokoh-tokoh hebat yang sengit, babak belur dan berdarah-darah demi desentralisasi. Sebuah berkah dari demokrasi.

Ketegangan sekaligus ketegasan untuk menjadi sesuatu yang baru, identitas yang bukan primordial sifatnya, bukan soal politik pramagtis sesaat. Kemerdekaan lalu persatuan antara etnis dan agama juga aneka kepentingan dalam bingkai Gorontalo Utara adalah separuh mukjizat, bahkan kita sekarang bisa bercanda, bekerjasama, bersosial media dengan rukun, meskipun berbeda. Ketegangan itu kadang menjadi kekayaan yang membuat kita maju, dan luluh dalam semangat hidup bersama sebagai keluarga.

Lalu apa yang menandai Thariq dalam penilaian subjektif saya ?.

Sebagaimana setiap manusia dalam esensi duniawinya, saya mencatat Thariq sebagai sebuah paradoks. Kita bisa mulai dari paradoks kekuatan Thariq yang juga merupakan kelemahannya. Saya melihat ada dua di antaranya.

Pertama, Thariq memiliki kemampuan sebagai politisi-teknokratik yang teruji. Tidak hanya secara intelektual, tetapi juga secara eksperiensial dan memuncak pada value elektoral politiknya.

Namun, dengan kekuatan seperti ini, jelas Thariq akan dianggap sebagai ancaman oleh lawan-lawannya. Ini membuat lawan akan cenderung menggunakan logika spionase dalam menghadapinya; jika tidak diredam, maka dia harus ditenggelamkan.

Kedua, berbeda dari para politisi yang dibesarkan dalam kamar pencitraan dan karier rintisan, Thariq adalah politisi-intelektual par excellence. Ini membuatnya tak jarang tampak populis di mata publik dan dianggap ide-idenya reformis bagi para konservatif.

Persoalan dari kedua kelemahan ini adalah paradoks lain lagi, yakni paradoks yang termuat dalam persilangannya. Sementara kelemahan pertama menuntutnya untuk berhati-hati dalam bertindak dan berkata-kata. Kelemahan yang kedua justru mengharapkan Thariq untuk menjadi lebih spontan dan tidak kental cara kerja akademis.

Meski demikian, saya yakin, tak ada satu pun manusia di utara Gorontalo yang akan meragukan kemampuan Thariq dalam menghadapi semua paradoks itu. Dia tidak datang dari antah-berantah, tetapi dari paradoks demi paradoks politik Gorut kemarin dan hari ini.

Walaupun sekarang, Thariq sedang diuji dalam posisi Ketua Golkar Gorut. Mengakumulasi kepentingan partai dan elite menuju Pilkada nantinya. Toh, ketua partai tidak membuat dirinya bisa melenggang diantara ritme koalisi yang akhir-akhir ini mesra dibangun. Thariq seperti raja tak bermahkota, punya kuasa namun langkahnya ibarat kopral di medan tempur.

Thariq terlihat menggunakan adagium Hobbes seperti yang saya kutip di atas. Ia menggunakannya dengan ketepatan makna dan konteks sebagai simpulan pada kondisi Gorut terkini.

Namun, Thariq selalu saja menarik dan tak luput dari perhatian elite dan publik. Ia terus saja beranomali dengan slogannya ceria dan tersenyum riang gembira. Walaupun keraguan sebagian rakyat dan lawan politiknya akan cita-cita resolusi Pantura1966 masih jauh panggang dari api. Thariq tetap optimis, menegaskan bahwa dirinya tidak roboh. Dan bala pasukannya terus saja kokoh disampingnya.

Thariq tetap setia pada lelucon hidup yang dia temukan dalam politik yang belakangan ini tengah gemerlap; diributkan dengan rasa cemas, was-was hingga saling rangkul-rangkulan membangun simpul awal koalisi mega bintang.

Meski bagaimanapun, Thariq sedang berjudi dengan waktu. Ia sadar, Gorontalo Utara masih saja romantis untuk diperjuangkan. Hasrat kepercayaan rakyat, menunggunya pulang dengan keceriaan tanpa embel apa-apa. Tanpa keraguan dipelipis cita-cita awal ia merangkak diarena bisnis kepercayaan sejarah Pantura-Gorontalo Utara.

Sebab bagi Thariq, Gorontalo Utara bukan saja tentang politik lima tahunan. Melainkan perjuangan jiwa dan raga bagi masa depan anak cucu, generasi mendatang. Thariq, janganlah melangkah dengan kaki yang terseok. Sebab, Thariq dan Gorut belum selesai untuk dipersoalkan.