Opini  

Menjamurnya Menara Telekomunikasi Tak Berijin Berpotensi Menciptakan Prasangka Negatif Masyarakat Kepada Pemerintah Daerahnya

Ilustrasi

Penulis : Fajar Budhi Wibowo (Koordinator Umum LSM KOMPAS)

Menjamurnya menara telekomunikasi di Indonesia kian hari kian “menghutan”, pesat laju pertumbuhannya bisa jadi mengalahkan perkembangan pohon besar nan rindang penghasil oksigen dijalanan. Berbagai peraturan yang menjadi payung hukum telah diterbitkan, mulai dari Undang-undang, Peraturan Menteri, Peraturan Daerah, Peraturan Gubernur bahkan Peraturan Walikota dan Bupati. Namun regulasi yang ada sepertinya belum mampu untuk mengendalikan keberadaan menara telekomunikasi, dikarenakan ranah implementasi aturan akan bergantung pada tinggi rendah keseriusan pemerintah beserta sumberdaya manusia yang ada di tatanan pemerintahan itu sendiri.

Sebut saja di Provinsi Jawa Barat, khususnya wilayah Bandung Raya yang terdiri dari Kota Bandung, Kota Cimahi, Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat dan Kabupaten Sumedang. Keberadaan menara telekomunikasi seringkali menimbulkan polemik serta permasalahan ditengah-tengah masyarakat, permasalahan yang paling mencolok adalah permasalahan dari segi perijinannya. Instrumen pengendalian berupa regulasi belum sepenuhnya menjadi pedoman, baik oleh perusahaan-penyedia jasa telekomunikasi yang berkepentingan maupun oleh pemerintah itu sendiri, terutama pemerintah daerah kabupaten/kota yang memang sebenarnya sebagai pemegang kendali penegakan aturan yang berkaitan dengan keberadaan menara telekomunikasi di daerah.

Baca juga Program BPNT Gunakan Data Lama, Bangkalan Dianggap Belum Siap Salurkan Bantuan Pemerintah

Entah apa yang menjadi “kekuatan” dari perusahaan-perusahaan penyelenggara jasa telekomunikasi ini sebenarnya, karena dilapangan sangat banyak atau seringkali ditemukan menara-menara telekomunikasi yang mereka dirikan ditemukan tak mengantongi ijin sebagaimana mestinya, bila tidak berijin berarti bisa dikatakan bahwa menara telekomunikasi itu illegal. Menara Telekomunikasi ilegal kerap dijumpai berdiri gagah dan kokoh dengan “Penuh Kepercayaan Diri”, seolah tidak peduli atas kewajiban yang harus dipenuhi sebelum pendiriannya.

Perusahaan-perusahaan penyedia jasa telekomunikasi, baik yang berstatus BUMN maupun swasta dengan penuh kesadaran sengaja melanggar aturan, karena terlalu naif bila kita menyebut mereka adalah perusahaan-perusahaan yang dijalankan oleh orang-orang yang tidak mengerti dan tidak tahu aturan.

Berbagai pengaduan, pelaporan masyarakat maupun penyampaian aspirasi terus mengalir kepada pemerintah maupun kepada mereka yang disebut wakil rakyat, pemberitaan berbagai media sering sekali memuat. Acapkali para aktifis dari berbagai organisasi kemasyarakatan memperingatkan dan memberitahukan kepada pemerintah terkait temuan adanya menara telekomunikasi ilegal, tapi pemerintah daerah yang sebenarnya memiliki instrumen khusus sebagai APH (Aparat Penegak Hukum), sebut saja SATPOL PP, tidak difungsikan dengan baik sebagimana mestinya.

Mereka seolah tak berdaya melihat fenomena pelanggaran terhadap peraturan yang massive terjadi. entah apa yang menyumpal mulut, membelenggu kaki serta tangan mereka, sehingga berbagai pelanggaran yang nyata hanya mampu mereka tonton oleh mata dan kepalanya sendiri, tanpa bisa berbuat banyak, lalu untuk apa pajak masyarakat menggaji mereka bila tidak difungsikasn secara optimal.

Bila menilik jauh kebelakang, seperti yang telah diketahui bersama, dalam Siaran Pers No. 137/PIH/KOMINFO/6/2009 terbitan Kemenkominfo yang termuat di https://www.postel.go.id/berita-himbauan-kepada-pemda-agar-bijak-dalam-menyikapi-peraturan-menara-telekomun-26-941 tentang himbauan kepada Pemda agar bijak dalam menyikapi peraturan menara telekomunikasi disaat efisiensi bisnis telekomunikasi.

Dalam siaran pers tersebut diterangkan bahwa sejak ditetapkan dan mulai diberlakukan pada tanggal 30 Maret 2009 dan telah dianda-tangani oleh Menteri Dalam Negeri, Menteri Pekerjaan Umum, Menteri Kominfo dan Kepala BKPM, maka Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri Pekerjaan Umum, Menteri Kominfo dan Kepala BKPM tentang Pedoman Pembangunan dan Penggunaan Bersama Menara Telekomunikasi No. 18 Tahun 2009, No. 07/PRT/M/2009, No. 19/PER/M.KOMINFO/3/2009 dan No. 3/P/2009 telah langsung disosialisasikan secara cukup intensif oleh Departemen Kominfo bersama Departemen Dalam Negeri pada sekitar tanggal 18 Mei s/d 11 Juni 2009, dalam bentuk evaluasi dan monitoring tentang implementasi penggunaan menara telekomunikasi di beberapa propinsi dengan tujuan seluruh rangkaian kegiatan tersebut adalah untuk mendapatkan informasi dan masukan melalui forum diskusi mengenai operasionalisasi menara telekomunikasi di lapangan dan untuk melihat sejauh mana pemahaman sejumlah Pemda (baik Pemda Tingkat I maupun Tingkat II yang berada di daerah dimana sosialisasi berlangsung) terhadap ketentuan dan pengaturan mengenai menara bersama telekomunikasi.

Namun sampai tahun 2019 ini, tepatnya sepuluh tahun sudah keberadaan peraturan itu, sudah banyak turunannya dalam bentuk Peraturan Daerah dan sebagainya, ternyata masih saja belum mampu aturan itu terimplementasikan dengan baik, terutama dari segi eksekusi pengendalian dan penertiban permasalahan perijinan atas keberadaan menara telekomunikasi. Padahal, apabila kita menganalisa, berbagai peraturan yang ada sangat menguntungkan bagi perusahaan-perusahaan penyelenggara jasa telekomunikasi, tinggal itikad baik dan semangat dari perusahaan penyedia / penyelenggara jasa telekomunikasi menyadari keharusan mengurus perijinan aset bisnisnya ke pemerintah-pemerintah daerah setempat.

Bila kita mengamati keberadaan menara telekomunikasi disuatu daerah, infrastruktur telekomunikasi sedikit banyak telah mengganggu dan merusak estetika kota, kota menjadi tampak semrawut dan tidak tertata dengan rapi, keberadaan nya yang terkesan tidak beraturan telah menjadi “Polusi” seperti halnya kotoran mata yang mengganggu pandangan kita, meskipun saat ini telah ada ketentuan agar keberadaanya tidak mengabaikan keindahan visual, dengan aneka aksesoris sebagai kamuflase agar terlihat lebih cantik.

Kembali ke topik perijinan, selain menara telekomunikasi yang telah berdiri dengan sangat “Gagah Perkasa” baik jenis Green Field ataupun Rooftop, saat ini tengah berkembang secara gencar pendirian tiang-tiang pendukung sarana telekomunikasi yang disebut dengan Micro Cell Pole (MCP) yang tegak berdiri dilahan-lahan milik pemerintah yang menjadi fasilitas umum.

Menurut penelusuran yang pernah dilakukan (bahkan pengamatannya masih berlangsung sampai saat ini), bahwasannya menurut informasi, khusus pada pendirian tiang MCP, perusahaan penyedia jasa telekomunikasi tidak mengeluarkan biaya sewa lahan kepada pemilik lahan, dalam hal ini pemerintah daerah, menurut informasi yang didapat dalam salah satu audiensi, sebagai pengganti sewa lahan, pengusahaan akan melengkapi tiang tiang MCP nya dengan untuk penerangan jalan umum sampai ke pemasangan CCTV untuk kepentingan umum.

Lantas, apabila tiang-tiang tersebut memiliki fungsi sosial dan berdiri dilahan milik pemerintah, apakah menggugurkan kewajibannya untuk memiliki ijin atau tidak diperlukan IMB Menara Telekomunikasi yang menurut aturan harus dikantongi oleh para pengusaha/perusahaan penyedia jasa?.

Para pengusahan dengan seenaknya mendirikan tiang MCP tersebut, seperti halnya yang terjadi di salah satu Kota di wilayah Bandung Raya, diketahui dengan hanya berbekal Ijin Prinsip (satu ijin prinsip berlaku untuk satu ruas jalan) yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah, pihak perusahaan dengan leluasa membangun puluhan tiang MCP tanpa dilengkapi IMB. Padahal, ijin prinsip itu bukan IMB, aturannya jelas. Pendirian dilakukan pada lahan-lahan milik pemerintah, ironisnya beberapa titik tiang MCP ilegal berdiri tegak didepan kantor

Dalam mensikapi permasalahan ini, diketahui beberapa kali kelompok masyarakat yang tergabung dalam organisasi sosial kemasyarakatan termasuk LSM, mensikapi hal tersebut dan telah meminta klarifikasi kepada pemerintah. Namun pemerintah seolah-olah tidak melakukan kesalahan apapun, bahkan seolah-olah dengan sengaja menampakkan ketidak berdayaannya, mempertontonkan bahwa pemerintah tidak memiliki keberanian untuk mengambil tindakan tegas kepada perusahaan-perusahaan yang bergerak dibidang penyedia jasa infrastruktur telekomunikasi yang melanggar aturan, padahal payung hukum sudah ada dan tersedia. Mungkin karena mereka adalah bagian dari investor yang menguntungkan untuk pemerintah keberadaanya.

Pernah suatu ketika ada sekelompok masyarakat berunjuk rasa untuk menuntut dilakukan penyegelan serta pencabutan tiang MCP yang tidak memiliki ijin, setelah beberapa kali berunjuk rasa dan beraudiensi dengan perwakilan pemerintah, aspirasinya dipenuhi dan ditindaklanjuti oleh Satpol PP, namun ternyata penyegelan tersebut terkesan hanya untuk penggugur kewajiban semata, dikarenakan meskipun tiang MCP telah disegel, diketahui aktifitas dari perusahaan pada tiang-tiang tersegel masih tetap dilakukan, dengan dalih melakukan pemeliharaan, perusahaan dimaksud perlahan tapi pasti menyelesaikan

Baca juga Perlunya Dukungan Pemerintah Pusat Agar Pengembangan Peternakan Sapi Bisa Menurunkan Kemiskinan

Dengan kasus seperti itu, sebenarnya kewibawaan pemerintah telah jatuh dan tercoreng oleh ketidaktegasannya sendiri, perusahaan penyedia jasa telekomunikasi pemilik tiang MCP tersebut benar-benar tidak menghargai pemerintah, sehingga kepercayaan masyarakat kepada pemerintah pun jelas lambat-laun memudar. Asumsi masyarakat yang timbul akhirnya berupa pikiran negatif, dianggap pemerintah hanya bisa tegas kepada masyarakat lemah, namun tidak halnya kepada para pengusaha/perusahaan yang notabene memiliki “Kekuatan”.

Inilah yang harus menjadi bahan pemikiran, suatu hal yang wajar apabila akhirnya banyak pertanyaan yang menggelayuti pikiran masyarakat, apalagi pastinya dikalangan para aktifis sosial kemasyarakatan dan para pemerhati kebijakan. Bila menyimak ulasan dan contoh diatas, pertanyaan-pertanyaan yang mungkin muncul dalam benak masyarakat diantaranya adalah:

Bila aturan tersebut sudah dibuat dan dipandang sudah memenuhi asas keadilan, serta telah memiliki nilai yang menguntungkan Perusahaan dan Pemerintah, contohnya di Bandung Raya, lalu kenapa banyak sekali ditemukan menara-menara telekomunikasi ilegal?

Bila disuatu daerah yang telah memiliki regulasi tentang penarikan retribusi pada keberadaan menara telekomunikasi, apakah pihak perusahaan enggan memenuhi kewajibannya membayar retribusi kepada pemerintah daerah? atau retribusi yang diterapkan normatif nilainya terlalu tinggi?

Dengan pengaturan yang ada untuk pemenuhan kewajiban memiliki IMB untuk menara telekomunikasi, apa yang menjadi keenggananan pihak perusahaan untuk berurusan dengan pemerintah dalam pengurusan perijinan? apakah dikarenakan alur birokrasi yang cukup panjang dan menyulitkan?

Dengan menjamurnya menara telekomunikasi yang tidak berijin, apa yang membuat pihak perusahaan “bersemangat” untuk melanggar aturan? Apakah ada oknum-oknum dari pihak tertentu yang menjadi “motivator” dan menjadi “trigger” keberanian melanggar aturan? atau mungkin pihak perusahaan sudah memiliki formulasi khusus , seperti “jaminan keamanan” dari pihak-pihak tertentu yang akhirnya menjadi “imun kekebalan hukum” untuk menghadapi para APJH yang mungkin tidak diketahui oleh publik atau tidak terekspos kepada publik?

Apakah sangsi TIPIRING yang diterapkan kepada para pelanggar aturan pendirian menara telekomunikasi itu dapat dianggap mudah sehingga dapat diabaikan karena perusahaan memilik banyak uang untuk membayar dendanya?

Banyak lagi pertanyaan lain, sehingga suatu kewajaran apabila yang akhirnya pemikiran masyarakat mengarah pada prasangka buruk/negatif tentang adanya oknum-oknum dari pihak pemerintah, terutama dikalangan stakeholder yang berhubungan dengan proses penerbitan perijinan apabila pemerintah tidak kunjung memperlihatkan ketegasan dalam penegakan aturan. Perubahan paradigma masyarakat akan sangat mudah berubah, dari pandangan negatif menjadi positif, apabila pemerintah dapat menunjukan ketegasannya, terutama kepada perusahaan-perusahaan penyedia jasa telekomunikas.i Pemerintah pun dapat tetap menjaga kewibawannya dimata masyarakat, apabila dapat berlaku adil dalam penegakan peraturan dan perundang-undangan yang ada.(*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *