Catatan Journalist
Oleh: Mohamad Yusrianto Panu
Epidemi Covid-19 di Indonesia, seolah sulit untuk dihentikan penularannya. Meskipun, dalam upaya menekan laju karier baru penularannya, pemerintah pusat dan daerah telah berupaya semaksimal mungkin dengan berbagai macam cara untuk menghentikannya. Namun, upaya-upaya dari pemerintah ini seperti terhambat oleh berbagai macam aspek di lapangan.
Sebut saja seperti karakteristik psikologi sebagian masyarakat, yang seakan sulit untuk diberi pemahaman tentang bahaya Covid-19. Kesadaran diri, egoisme, dan arogansi dari sebagian masyarakat, yang seolah tak mau mengindahkan himbauan pemerintah, serta maklumat Kapolri demi memutus mata rantai penularan Covid-19, menjadi salah satu faktor sulitnya penanganan pandemi ini beserta dampaknya.
Kondisi psikologi dari masyarakat seperti ini, bukan tidak beralasan. Namun, masyarakat bersikap seperti itu, didorong oleh tuntutan hidup keseharian mereka yang seolah terhambat, dengan berbagai macam upaya penanganan Covid-19. Padahal, itu dilakukan oleh pemerintah demi keselamatan dan kemaslahatan lebih dari 200 juta jiwa penduduk Indonesia, dari keganasan Covid-19.
Selain dari pada itu, stimulus Rp. 405 T yang dikeluarkan pemerintah untuk penanganan Covid-19, seolah terasa kecil bila dibandingkan dengan negara-negara lainnya. Tidak hanya itu, dana sebesar Rp. 405 T yang dikeluarkan oleh pemerintah ini, malah berdampak pada tingkat kepercayaan publik saat penanganan dampak pandemi ini. Munculnya keluhan dari publik yang berseliwiran di media sosial tentang pemberian bantuan, menjadi bukti dari dampak pada tingkat kepercayaan publik.
Keadaan ini, seakan merangsang kembali masyarakat untuk tetap beraktivitas seperti biasanya, ditengah Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan Pembatasan Sosial Berskala Kecil (PSBK), yang diterapkan oleh pemerintah dalam upaya memutus mata rantai penularan Covid-19, demi menyambung hidup mereka. Akibatnya, laju peningkatan pasien korban yang terpapar Covid-19 yang kini telah mencapai 10.451 jiwa, sulit untuk diupayakan.
Di lain hal, gengsi politik dari para elit saat ini, menambah sulitnya penanganan Covid-19. Sebab, gengsi politik ini dapat mempengaruhi kebijakan-kebijakan untuk penanganan Covid-19. Aturan yang serba membingungkan, ketegasan dalam menerapkan aturan yang sering menuai polemik, perbedaan pandangan dalam penanganan Covid-19, menambah riuhnya kesulitan dalam menangani penularan Covid-19 beserta dampaknya.
Padahal, dalam situasi pandemi yang terus menjadi momok bagi kita semua ini, harusnya kita saling bergandengan tangan untuk menyatukan presepsi, menyelamatkan kehidupan rakyat dengan benar-benar menerapkan konsep pentahelix, dari ancaman keganasan Covid-19 yang seakan sulit untuk dihentikan. Sebab, keselamatan rakyat merupakan hukum tertinggi di negeri ini.