Gorontalo, (regamedianews.com) – Meski mengalami penurunan pada tahun 2018 dibanding 2017 namun angka stunting di Gorontalo masih tergolong tinggi. Data 2017 menunjukkan stunting 36,1 % dan 2018 turun sebesar 28,2% anak yang terkena stunting. Berdasarkan data Dinas Kesehatan Provinsi Gorontalo, prevalensi stunting pada balita atau anak usia 0-59 bulan, turun dari 40,7 persen (2015) menjadi 32,3 (2017).
Begitu pula prevalensi stunting pada baduta, anak usia 0 hingga 24 bulan pada 2015, prevalensi mencapai 32,3 persen, tahun 2016 menurun jadi 28,4 persen, dan pada 2017 menjadi 24,8 persen. Nanum, masih tergolong tinggi Penderita stunting di daerah ini masih mencapai 33 persen, sementara untuk skala Indonesia berada pada angka 37 persen.
Hengki Maliki, ST. S.Ap salah satu Aktivis Kenamaan di Provinsi Gorontalo yang juga KPM (Kader Pembangunan Manusia) Desa Tinelo yang ditemui media ini disela-sela aktivitasnya mendata balita yang diduga beresiko stunting mengatakan, ia sebagai Kader Pemberdayaan Manusia di Desa Tinelo merasa bertanggung jawab terhadap pertumbuhan generasi-generasi bangsa yang ada di Desa Tinelo, Kecamatan Telaga Biru.
“Karena hal ini sangat penting, mengingat dampak stunting sangat luar biasa selain berpengaruh pada pertumbuhan para generasi bangsa, juga sangat berdampak pada perekonomian bangsa ini, sehingganya perlu penangganan serius dari semua pihak”, ucap Hengki, Selasa (23/07/2019).
Lanjut Hengki, Stunting bukan hanya persoalan kekurangan gizi kronis, tapi ini berkelindan dengan reproduksi kemiskinan yang terus terpelihara. Dari stunting menciptakan problem neurologis, kemampuan intelektual yang rendah dan keterampilan yang minim, sehingga berkontribusi pada mata rantai kemiskinan. Stunting bukan hanya persoalan individu, tapi juga menyangkut eksistensi sebuah bangsa.
“Indonesia yang akan mengalami puncak bonus demografi pada tahun 2030, bisa sia-sia apabila masih banyak balita gagal tumbuh akibat gizi kronis. Bonus demografi tak akan berarti apa-apa tanpa generasi muda yang sehat jiwa dan raga. Generasi muda yang sehat jiwa dan raga tentu dimulai dari balita yang sehat pula”, tandasnya.
Meningkatnya penderita stunting negara terancam mengalami kerugian, Berdasarkan data Bank Dunia pada 2016, jika PDB Indonesia sebesar Rp 13.000 triliun, maka diperkirakan potensi kerugian akibat stunting dapat mencapai Rp 260-390 triliun per tahun.
“Ketika dewasa, anak vyang mengalami kondisi stunting pun berpeluang mendapatkan penghasilan 20 persen lebih rendah dibandingkan dengan anak yang tidak mengalami stunting. Indonesia masih nomor empat tertinggi di dunia, Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 menunjukkan bahwa tiap daerah dan provinsi mengalami stunting”, terangnya.
Penurunan angka stunting menjadi 30,8 persen dari sebelumnya 37,1 pada 2013. Namun, angka ini masih tergolong tinggi, sebab 1 dari 3 anak di Indonesia masih mengalami stunting yang terjadi di berbagai daerah, Ini masih berada di bawah rekomendasi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang prevalensinya itu harus kurang dari 20 persen.
“Di samping itu, masih tingginya stunting menjadi kabar kurang baik di tengah kotbah kemajuan pertumbuhan ekonomi yang selalu menjadi parade keberhasilan. Pertumbuhan ekonomi yang ada ternyata belum menyentuh masyarakat secara luas bahkan pertumbuhan itu hanya ada di perputaran para elit, sementara kemiskinan masih terus pengap di masyarakat pinggiran”, imbuhnya.
Dari beberapa penelitian, selalu ada korelasi antara kemiskinan dan gizi buruk. Berhanu Nigussie Worku dkk dalam The relationship of undernutrition/psychosocial factors and developmental outcomes of children in extreme poverty in Ethiopia (2018) menyebutkan dalam hasil risetnya bahwa ada korelasi positif antara kemiskinan dan gizi buruk yang terjadi Ethiopia. Ia menemukan, 819 anak-anak yang sangat miskin, 325 orang (39,7%) mengalami stunting, 135 orang (16,5%) kekurangan berat badan, dan 27 orang (3,3%) mengalami wasted.
“Kemiskinan menjadi penyebab utama terjadinya stunting pada anak Di Indonesia. Sejak 2017 pemerintah mulai membentuk skema dan upaya penuntasan stunting secara terpadu oleh Kementerian Kesehatan dan Kementerian Desa melalui Permendesa No 19 Tahun 2017 tentang Prioritas Penggunaan Dana Desa. Memang butuh komitmen dan kemauan politik yang kuat untuk mengatasi problem stunting”, jelasnya.
Selama ini pengelolaan dana desa masih tetap fokus pada infrastruktur, sebagaimana layaknya ritme pemerintah pusat. Meskipun dana yang mengucur cukup banyak, tapi tanpa komitmen dan kemauan politik untuk betul-betul menyelamatkan generasi bangsa dari ancaman stunting, maka gerakan itu hanya besar di semboyan tapi miskin gerakan yang membumi yang menyentuh level hidup masyarakat miskin.
“Beberapa gerakan kongkret yang harus dilakukan dalam mencegah stunting, yaitu setiap desa harus mengidentifikasi latar belakang keluarga yang taraf ekonominya menengah ke bawah dengan dana desa yang ada, aparat desa bisa melakukan pemberdayaan ekonomi melalui edukasi entrepreneurship agar mereka bisa mandiri, meskipun saat ini sudah ada program keluarga harapan dari Kemensos tapi aparat desa juga harus memastikan bahwa tidak ada lagi warganya yang kelaparan dan kekurangan gizi, dana desa jangan hanya dihabiskan untuk pembangunan infrastruktur, tapi juga harus fokus untuk mengembangkan manusia berkualitas dengan mencegah terjadinya stunting melalui pemberdayaan ekonomi berbasis keluarga”, tegas Hengki.
Sementara ditempat berbeda, Kepala Desa Tinelo Rusdiyanto Ahmad, Lc yang ditemui awak media mengatakan, kalau pihaknya sangat mensupport kegiatan-kegiatan terkait pencegahan stunting. Bahkan beberapa program Desa Tinelo lebih memprioritaskna masalah gizi anak pada diusia 1000 HPK (Hari Pertama Kehidupan). (onal)