Opini  

Tidak Berdayanya Kurikulum Akademik Saat Covid-19 Melanda

Oleh Hotip. 

Mahasiswa Pascasarjana IAIN Jember

Pandemi Covid 19 memberikan efek domino pada segala lini kehidupan manusia di dunia, tak terkecuali pada sektor pendidikan.

Dampak ini disambut dengan gegap gempita, oleh pemangku kebijakan, mulai dari tingkat bawah hingga tingkat pusat.

Perubahan yang drastis dan agresif ini menuntut pejuang pendidikan disegala lini untuk memutar pola sekaligus media ke arah yang lebih kontekstual dan ramah zaman.

Tentu tantangannya berbeda dengan perubahan pendidikan yang gradual, dimana perubahan yang bertahap memberikan efek kecil dan terukur, sedangkan perubahan dimasa pandemi ini, antara perubahan dengan kesiapan menegerial dan sistem sama sekali tidak berimbang.

Kebijakan yang gradual, yang setiap pergantian kepemimpinan, sama sekali tidak membuahkan hasil yang maksimal, yang terjadi hanyalah persoalan baru dibalik kebijakan baru. Kurikulum yang acap kali dipakai secara pasang surut, belum sepenuhnya mampu mencerdaskan kehidupan bangsa, sebagaimana amanah undang-undang.

Pergantian dan tarik ulurnya kurikulum, seolah lembaga pendidikan hanya menjadi “kelinci percobaan” oleh pemegang kebijakan, sehingga tak heran jika kebijakan demi kebijakan tidak bersifat permanen, malah temporal bergantung pada pergantian pemimpin dan kepala negara.

Ketika covid 19 menjadi media untuk mengubah segalanya, perubahan kebijakan yang berpijak kepada egoisme kepemimpinan menjadi tidak bisa dipakai lagi. Arus perubahan yang drastis, yang mewajibkan segalanya untuk berbasis online dan elektronik, memaksa lembaga pendidikan untuk secepatnya hijrah dari kebiasaan konvensional menuju arah baru yang super menantang.

Wujud pandemi covid 19 di Indonesia sangat memutar otak semua element baik pemerintah atau masyarakat secara umum tak terkecuali kementerian pendidikan yang selalu berinovasi untuk menemukan solusi bagaimama caranya agar pendidik dan peserta didik tetap melaksanakan kewajibannya. Anjuran agar melaksanakan kegiatan belajar mengajar sudah diupayakan oleh pemerintah, mulai dari belajar online Dalam Jaringan (Daring) sampai dengan belajar melalui media tayang seperti Televisi Ripublik Indonesia (TVRI) yg sudah dirancang dan di desain dengan sangat detail akan tetapi apakah dua solusi itu dapat berjalan sesuai alurnya? Tentu tidak, karena banyak sekali problem yang dialami oleh peserta didik.

Pasa tanggal 13 April 2020, Televisi Republik Indonesia (TVRI) memulai menayangkan program baru dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang bertajuk Belajar dari Rumah. Program ini diisi dengan berbagai tayangan edukasi, mulai dari tingkat Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) hingga pendidikan tingkat Menengah. Program tayang ini menjadi salah satu alternatif kegiatan belajar mengajar bagi siswa, guru dan orang tua. Program ini sangat tidak menjadi perhatian publik, mulai dari antusiasme dan atensi dari masyarakat yang tidak kurang memberi dukungan secara moral utamanya pendidik dan peserta didik.

Karena uji coba pertama sudah dianggap sangat kurang efektif maka terbitlah Surat Edaran Kedua dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Nomor 15 Tahun 2020 tentang Pedoman Penyelenggaraan Belajar dari rumah disaat Darurat Penyebaran covid 19 yang disampaikan oleh staf Ahli Kememdikbud bidang Regulasi, Chatarina Muliana Girsang, untuk memutus mata rantai menyebarnya Covid 19. Namun banyak sekali problem yang dialami oleh pendidik dan peserta didik, mulai dari sarana yang tidak memadai, sinyal HP (Cellphone signal) yang tidak mensuport. Ini semua bukan menjadi solusi melainkan menambah beban bagi masyarakat yang berkecimpung didalam dunia pendidikan dan lagi-lagi Surat Edaran ini menjadi kegalaun berat bagi setiap pemangku kepentingan dalam hal ini, didalam dunia pendidikan.

Wibawa Kurikulum lama yang berbasis bisnis dan arogansi kepemimpinan menjadi runtuh dan berkeping, sama sekali tidak menyisakan sedikit pun, tak terkecuali masalah yang ditimbulnya.

Apakah perubahan ini memberikan kemudahan secara maksimal? Tentu htidak, pradigma perubahan kurikulum menuntut dua wajah sekliagus, dan itu niscaya dalam setiap perubahan.

 

Semua isi dari artikel ini menjadi tanggung jawab dari penulis

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *