Jakarta || Rega Media News
Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Daerah Istimewa Yogyakarta menyebut kebijakan yang mewajibkan pelaku perjalanan dari luar daerah membawa rapid test antigen, menjadi penyebab anjloknya reservasi hotel saat libur akhir tahun.
“Sebelumnya, reservasi untuk libur akhir tahun dari 25 Desember hingga 2 Januari 2021 mencapai 42 persen. Tetapi, ada kebijakan rapid test antigen sehingga banyak yang membatalkan dan kini reservasi turun menjadi 25 persen,” kata Deddy Pranawa Eryana Ketua DPD PHRI DIY di Yogyakarta, Minggu (20/12/2020).
Menurut dia, banyak wisatawan yang membatalkan reservasi karena keberatan harus mengeluarkan dana lebih banyak untuk kebutuhan rapid test antigen sehingga biaya yang harus dikeluarkan untuk libur akhir tahun menjadi lebih tinggi.
“Jika dalam satu keluarga ada lima orang yang berwisata, harus mengeluarkan biaya tambahan sampai sekitar Rp1 juta. Belum lagi jika mereka berlibur melebihi batas kedaluwarsa hasil tes. Biaya jadi dua kali lipat,” ucapnya seperti dilansir Antara.
Deddy pun menyayangkan kebijakan dari pemerintah pusat yang mendadak tersebut karena sebelumnya para pelaku usaha jasa akomodasi wisata di DIY sudah berharap banyak akan mampu meningkatkan okupansi saat libur akhir tahun.
“Dengan kebijakan itu, kondisi pelaku usaha jasa akomodasi semakin berat. Pelaku usaha jasa yang sebelumnya masih kuat, kini sudah setengah kuat. Dan yang sudah pingsan jadi hampir mati terutama hotel bintang tiga ke bawah,” katanya.
PHRI DIY kemudian mengusulkan agar pemerintah daerah bisa turun tangan membantu pelaku usaha jasa pariwisata.
“Kalau boleh usul, para pegawai negeri sipil di DIY yang tidak boleh keluar kota bisa ‘staycation’ di hotel. ASN dari Kota Yogyakarta menginap satu atau dua hari di Gunung Kidul. Begitu pula sebaliknya,” katanya.
Ia menyebut, jika usulan tersebut dapat direalisasikan, maka akan sedikit membantu para pelaku usaha jasa akomodasi untuk bertahan lebih lama di masa pandemi.
“Tentunya, mereka menginap di hotel atau wisata kuliner di tempat usaha yang sudah mendapat verifikasi protokol kesehatan atau sertifikasi CHSE,” imbuhnya.
Ia menyebut pelaku usaha hotel dan restoran sudah berusaha semaksimal mungkin untuk menjalankan protokol kesehatan guna mencegah penularan Covid-19 dalam kegiatan usahanya dengan sertifikasi CHSE atau verifikasi protokol kesehatan.
“Tiba-tiba ada kebijakan dari pusat sehingga kami merasa apa yang sudah kami lakukan, verifikasi protokol kesehatan atau sertifikasi CHSE ini sia-sia,” tuturnya. (rd)