Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), politik diartikan sebagai pengetahuan ketatanegaraan atau kenegaraan (seperti tentang sistim pemerintahan, dasar pemerintahan).
Pengertian lainnya menurut KBBI, politik adalah segala urusan dan tindakan (kebijakan, siasat, dan sebagainya) mengenai pemerintahan negara atau terhadap negara lain, atau cara bertindak (dalam menghadapi atau menangani suatu masalah); kebijakan.
Seorang filsuf Yunani, Aristoteles, mengartikan politik sebagai ilmu praktis yang maksudnya bukan sebagai ilmu pengetahuan. Aristoteles menganggap, pengetahuan tentang politik merupakan kunci untuk memahami lingkungan.
Seiring berkembangnya pemahaman dan penafsiran tentang politik, bagi sebahagian orang politik ditafsirkan sebagai kekuatan untuk merebut dan mendapatkan kekuasaan agar bisa melakukan perubahan, demi kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih baik.
Politik menurut mereka, diibaratkan seperti gerbong kereta yang di belakangnya mengangkut segala kebutuhan mendasar maupun keinginan atau cita-cita bersama, yang akan diraih dan diwujudkan lewat panggung kontestasi politik (Pemilihan Umum).
Mereka yang menafsirkan politik seperti ini, secara teknis berpolitik dengan cara-cara yang sehat dan bermartabat. Idealnya, mereka berpolitik dengan ide dan gagasan yang diargumentasikan secara sederhana, untuk menunjuka kualitas diri yang arif dan bijaksana.
Hal ini berbeda dengan sebahagian orang lagi, yang entah bagaimana awal mulanya, penafsiran politik menurut mereka menjadi bergeser. Politik menurut mereka ditafsirkan dan diimplementasikan sebagai kekuatan yang menjadi jembatan, untuk memenuhi hasrat dan menguntungkan pribadi dan kelompok.
Sehingga, perubahan penafsiran ini, melahirkan ekosistim politik yang brutal dan tak sejalan dengan etika berpolitik. Diantara dari itu adalah, politik uang (money politic) dan politik racun (politic toxic). Kedua hal ini, kemudian berkontribusi terhadap lahirnya oknum-oknum pemimpin dan wakil rakyat yang haus kekuasaan, serta hanya menimbun kekayaan pribadinya.
Politik Uang (money politic)
Jika menggunakan unsur pendekatan filsafat bahasa, politik uang adalah politik yang menggunakan uang sebagai kekuatan. Artinya, uang dijadikan sebagai media utama untuk bagaimana memuluskan kepentingan politik, seperti mendapatkan dukungan rakyat agar bisa berkuasa karena terpilih sebagai pemegang mandat kedaulatan rakyat.
Hal itu, mengakibatkan cost atau modal politik hingga mencapai miliyaran rupiah, sehingga dengan sengaja virus kapitalisasi terhadap politik merajalela. Kesan yang muncul dari sini, hanya orang-orang yang yang memiliki kualitas finansial tinggi yang dapat berdiri tegak di atas panggung politik, meski kualitas kecerdasannya belum mumpuni.
Sementara yang hanya memiliki cost kecerdasan, hanya bisa bertenger pada dua pilihan, sebagai tim sukses bagi yang berduit atau menjadi kompetitor yang akan menuai kekalahan.
Tak jarang bahkan kerap terjadi, muncul berbagai persoalan saat momentum pesta demokrasi (Pemilu), soal adanya oknum yang bagi-bagi uang untuk mendapatkan suara dukungan rakyat. Ini, menjadi tontonan yang biasa sering terjadi, dan menambah alot dan rumitnya politik saat ini, yang sebenarnya bisa disederhanakan apabila kita kembali pada penafsiran politik yang sesungguhnya.
Politik Racun (toxic politic).
Seperti nama istilahnya politik racun, gaya berpolitik seperti ini di masa sekarang masih ampuh dan semakin digandrungi untuk menjatuhkan lawan politik dan mendapatkan kemenangan.
Politik racun, digunakan dengan cara menyebar fitnah, mengumbar aib dan kejelekan lawan politik, sehingga menjadi racun mematikan bagi lawannya agar tak disukai dan dibenci oleh rakyat. Bahkan, tak jarang tekhnik ini dihembuskan lewat isu-isu miring untuk menciptakan konflik atau biasa yang disebut dengan “politic conflict”, untuk menghancurkan kubu lawan dari dalam.
Sadis, brutal dan memprihatinkan memang. Tapi itu lah, tekhnik ampuh yang disukai para oknum politikus yang tak memiliki kualitas diri untuk mendongkrak kekuatannya memenangkan pertarungan politik. Menghalalkan segala cara untuk menjatuhkan lawan dan memenangkan hati rakyat, seolah dia adalah manusia setengah dewa dan yang lainnya hanyalah manusia biasa.
Revitalisasi Politik
Dengan uraian tentang Politik Uang dan Politik Racun yang saat ini, makin menjadi populer bahkan menjadi budaya yang seolah wajib ada di dalam ekosistim politik kita, tentu hal ini merupakan kemunduran bagi peradaban sumber daya manusia kita yang seharusnya lebih maju karena adanya konsep demokrasi pancasila.
Pasalnya, politik uang dan politik racun, sampai saat ini masih berpengaruh besar bahkan semakin mendominasi berkontribusi besar terhadap lahirnya oknum-oknum pemimpin dan wakil rakyat yang tidak pro rakyat, dan semakin memperpanjang korupsi dan kemiskinan di negeri ini.
Majemuknya bangsa ini, menjadi celah bagi para oknum politikus yang menggunakan kedua tekhnik ini untuk menyesatkan rakyat, serta meraup keuntungan dari situ. Mereka akan terus melakukan politik racun untuk menjatuhkan lawan, kemudian menggunakan politik uang untuk mendapatkan dukungan.
Kedua hal ini akan terus berlangsung, apabila tidak ada gerakan untuk memulai revitalisasi terhadap penafsiran politik ke penafsiran yang sesungguhnya. Revitalisasi politik harus digerakkan secara masif lewat pendidikan-pendidikan politik, baik yang diselenggarakan oleh partai politik maupun penyelenggara Pemilu.
Selain itu, komitmen dari penyelenggara Pemilu, harus diperkuat dan lebih diperkokoh dalam menghasilkan dan melaksanakan sistim politik yang baik dan kuat. Sebab, sistim yang baik dan kuat, akan memaksa orang jahat akan berbuat baik, tetapi sistim yang buruk dan lemah, akan memaksa orang baik berbuat jahat.
Oleh : Mohamad Yusrianto Panu, Jurnalis Gorontalo.