Oleh : Mohamad Yusrianto Panu/Jurnalis Gorontalo.
Kurang lebih sebulan lagi Pemilihan Umum 2024 baik Anggota Legislatif, Presiden maupun Wakil Presiden akan terlaksana. Berbagai tahapan dan persiapan tengah bergulir seiring berjalannya riuh pikuk tawaran-tawaran menggiurkan, para calon kontestasi politik kepada rakyat di masa kampanye saat ini.
Entah bagaimana bisa terjadi, ekosistim politik yang tercipta dalam pesta demokrasi di negara berkode (+62) ini, melahirkan para pemilih yang mempunyai tiga “warna”. Ketiga “warna” itu, adalah “hitam”, “putih”, dan “abu-abu” jika digolongkan dari faktor penyebab mereka memilih.
Golongan pemilih pertama atau pemilih “putih”, adalah mereka yang bisa juga disebut sebagai pemilih cerdas yang artinya, mereka golongan pemilih yang menentukan pilihan berdasarkan menganalisa kualitas pikiran dan kepribadian pilihan mereka.
Hal ini dilakukan oleh mereka, karena mempertimbangkan kemana arah biduk pemerintahan ini nanti akan dibawa oleh figur yang akan dipilihnya. Atau, karena mempertimbangkan hal lain seperti bagaimana nasib rakyat yang telah memandatkan kedaulatannya, selama lima tahun kedepan?.
Tentunya, dengan menimbulkan pertanyaan-pertanyaan kritis seperti ini dalam analisa menentukan pilihan, mereka pemilih cerdas akan menemukan figur yang tepat dan nantinya akan menjawab pertanyaan-pertanyaan kritis itu dengan kinerjanya sebagai pemimpin dan wakil rakyat ideal.
Sedangkan golongan pemilih yang kedua atau pemilih hitam, adalah mereka yang bisa disebut dengan pemilih yang licik. Mengapa? Sebab tipekal pemilih seperti ini, menentukan pilihan mereka atas dasar pragmatisme terhadap iming-iming atau bujuk rayu materi oleh figur yang mereka pilih.
Bagi pemilih hitam, menentukan pilihan saat Pemilu adalah sesuatu hal yang tak ada gunanya. Mereka trauma, karena pada Pemilu sebelumnya sempat meraskan dicekoki janji-janji manis yang akhirnya membuat “diabetes”. Sehingga, traumatik atas hal ini, membuat mereka menjadi masa bodoh dengan siapa yang mereka pilih, yang penting ada duitnya. Apabila mereka salah memilih, minimal sudah mendapat duit.
Disisi lain, bagi pemilih hitam, pesta demokrasi adalah masa panen untuk meraup keuntungan materil sebanyak-banyaknya, sehingga mereka lupa memikirkan nasib bangsa ini dan hanya sibuk membanding-bandingkan keuntungan yang dia dapat dari pilihan 1, 2 dan 3, kemudian memilih yang paling banyak memberikan keuntungan materi.
Terakhir, adalah golongan pemilih yang ketiga atau pemilih “abu-abu”. Mereka, adalah tipekal pemilih yang menentukan pilihan mereka atas dasar ikut-ikutan saja. Contohnya, saat melihat si A memilih si C, dia pun memilih nomor itu. Ketika diajak si B memilih figur dari “partai gaib”, dia pun tanpa berpikir panjang akan memilih figur dari “partai gaib”.
Karakteristik pemilih “abu-abu” lainnya, bisa nampak pada masa-masa kampanye sedang berlangsung, ketika diajak si A ikut agenda kampanye nomor 6, dia dengan penuh semangat hadir dalam agenda itu karena akan diberikan biaya transport. Di hari yang lain, saat si B mengajaknya ikut acara kampanye figur dari partai berbeda, ia pun bergegas kesitu sebab ada biaya transportnya dan kenang-kenangan.
Potensi yang paling parah dari pemilih “abu-abu” ini adalah, dia tidak memilih figur yang agenda kampanyenya dihadiri oleh pemilih “abu-abu” ini, tapi dia memilih figur yang memberikannya “serangan fajar” saat malam Pemilu. Sehingga, ia memilih figur yang bahkan ia pun tidak tahu apa-apa soal program figur itu.
Akhir dari tulisan ini, penulis hanya ingin menyampaikan jika menginginkan bangsa ini lebih maju dengan signifikan, jika menginginkan rakyat tidak menderita akibat Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, maka mari menjadi pemilih “putih”.
Mari kita lawan politik hitam, stop money politik, mari berpolitik sehat dan menentukan pilihan dengan cerdas, sehingga kita dapat menghasilkan pemimpin dan wakil rakyat yang berkualitas pikiran dan kepribadiannya. Wallahul Muwaffiq ila Aqwamit Tharieq, Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatu.