Opini  

Sekelumit Coretan Untuk Bumi Cendrawasih

Caption: Mohamad Yusrianto Panu, (dok. regamedianews).

Oleh: Mohamad Yusrianto Panu, Jurnalis Gorontalo.

Akhir-akhir ini, hangat diperbincangkan terkait adanya dugaan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Bumi Cendrawasih (Papua), yang dilakukan oleh oknum aparat TNI kepada para Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) atau yang sebelumnya TNI menyebutnya dengan istilah Kelompok Separatis Teroris (KST).

Munculnya perbincangan terkait hal ini, menyusul adanya video yang beredar di berbagai platform media sosial, tentang seorang angggota KKB yang disiksa dengan sadis dan kejam oleh oknum aparat TNI, yang diduga terjadi pada pertengahan februari yang lalu.

Video itu pun kemudian viral pada sekitar bulan maret baru-baru ini. Viralnya video tersebut, sontak mengundang perhatian khusus dari berbagai elemen pemerhati dan aktivis HAM di Indonesia. Berbagai kecaman dan tudingan pelanggaran HAM pun, kini tengah diarahkan kepada para oknum aparat TNI tersebut.

Tak butuh waktu yang lama, menyikapi persoalan itu, Mabes TNI bersama Pangdam XVII/Cendrawasih, Mayjen TNI Izak Pangemanan, langsung menseriusi hal ini dan menyatakan akan mendalami kasus tersebut. Para oknum aparat TNI yang diduga terlibat dalam kasus itu pula, telah ditindak dan ditahan untuk menjalani proses hukum selanjutnya.

Dari persoalan ini, sebagai Jurnalis yang sempat bertugas mengambil wilayah liputan di Bumi Cendrawasih, saya menjadi sangat prihatin dengan berbagai kecaman dan tudingan yang secara sepihak dilayangkan kepada oknum prajurit TNI yang terlibat dalam kasus tersebut.

Ditengah keprihatinan saya ini, muncul berbagai pertanyaan di benak saya, apakah mereka yang berbicara soal HAM itu tau siapakah KKB itu? Bagaimana sepak terjangnya KKB di Papua? Bagaimanakah kondisi psikologis seluruh Warga Negara yang ada di Papua ditengah adanya konflik bersenjata antara KKB dengan Negara ini?

Munculnya berbagai pertanyaan tersebut, mendorong saya untuk membuat tulisan ini, agar menjadi penyeimbang dalam menyikapi persoalan di Papua yang berhubungan dengan eksistensi KKB di sana, dengan tidak bermaksud pula membenarkan dalam prespektif hukum dan kemanusiaan atas dugaan penyiksaan yang dilakukan oleh sejumlah aparat TNI terhadap salah satu anggota KKB baru-baru ini.

Kelompok Kriminal Bersenjata atau KKB merupakan istilah yang digunakan oleh Polri untuk menyebut para anggota Organisasi Papua Merdeka atau OPM, istilah ini berbeda dengan yang digunakan oleh TNI sebelumnya, yakni Kelompok Separatis Teroris atau KST.

Eksistensi KKB di Bumi Cendrawasih, mulanya didorong oleh keinginan sejumlah kelompok di Papua untuk melepaskan diri dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dan ingin mendirikan negara sendiri yang berdaulat khusus Papua. Itu sebabnya, kelompok ini menamakan dirinya Organisasi Papua Merdeka atau OPM.

Awalnya, sepak terjang kelompok ini hanya menyerang aparat bersenjata seperti TNI dan Polri yang melaksanakan tugas pengamanan di Papua, akibat dari riak-riak yang dilakukan oleh KKB untuk menuntut kemerdekaan tanah Papua. Namun, seiring berjalannya waktu, sepak terjang KKB merambat hingga menyerang warga-warga sipil yang ada di Papua.

Keberingasan KKB malah semakin menjadi untuk merusak dan membunuh dengan brutal siapa saja yang dianggap musuh mereka, ditengah pemerintah Indonesia terus berupaya untuk mengembalikan kondusifitas keamanan di Papua secara persuasif dan terukur.

*Sejumlah Aksi Kebiadaban KKB Terhadap Warga Sipil dan Aparat TNI Polri*

Aksi kebiadaban KKB sebenarnya telah berlangsung lama dan tak sedikit. Namun saya akan mencoba menguraikan satu persatu aksi-aksi mereka mulai dari tahun 2018 silam, yang nampaknya luput dari reaksi kecaman dan tudingan pelanggaran HAM dari mereka yang akhir-akhir ini nampak sangat ideal menjunjung tinggi HAM.

Pertama, pada 3 Desember 2018 yang lalu, KKB tanpa pandang bulu menyerang para pekerja Proyek PT. Istaka Karya, di Kampung Kali, Distrik Yigi. Bahkan, dalam sebuah video yang diduga diambil oleh salah satu dari anggota KKB itu, terekam sangat jelas pembantaian keji yang dilakukan kepada seorang pekerja PT. Istaka Karya.

Tak hanya itu, dalam peristiwa tersebut, Pos TNI yang lokasinya berdekatan dengan Distrik Yigi, yakni di Distrik Mbua, tak luput juga dari penyerangan KKB pimpinan Egianus Kogoya hingga hancur. Akibat dari penyerangan KKB ini, 31 orang pekerja PT. Istaka Karya dan satu anggota TNI tewas. Kejadian itu pun berlalu, tanpa ada yang teriak soal HAM.

Kedua, peristiwa yang sangat menyayat hati adalah peristiwa penyerangan terhadap Tenaga Kesehatan (Nakes) Puskemas Distrik Kiwirok, di Kabupaten Pegunungan Bintang, pada 13 September 2021 yang lalu. Dimana, KKB menyerang Puskemas Kiwirok dan menculik para Nakes serta merusak dan membakar gedung Puskemas.

Para Nakes perempuan yang ditawan KKB, dengan tanpa rasa kemanusiaan dianiaya dan diperkosa oleh KKB. Akibatnya, 1 Nakes dinyatakan tewas mengenaskan karena dianiaya menggunakan belati dan didorong ke jurang oleh KKB, sementara 4 lainya berhasil selamat dalam insiden mengerikan tersebut.

Selanjutnya, KKB kembali melakukan penyerangan terhadap warga sipil, yang sedang melaksanakan pekerjaan proyek Jalan Trans Papua di Teluk Bintuni, Kabupaten Maybrat, Kamis 29 September 2022 silam, tanpa ampun dan memikirkan soal HAM.

Dalam penyerangan tersebut, empat orang pekerja dinyatakan tewas karna diserang secara keji oleh KKB, dengan cara ditebas dan dibakar. Selain empat orang korban yang tewas, satu orang wanita yang bertugas sebagai juru masak dinyatakan hilang, sebelum akhirnya berhasil ditemukan warga dan diselamatkan oleh aparat Gabungan TNI-Polri, dengan kondisi memprihatikan, menderita luka memar di sekujur tubuhnya.

Lagi dan lagi, peristiwa itu pun berlalu dengan sendirinya, tanpa ada suara-suara teriakan soal HAM, terlebih perlindungan terhadap perempuan. Namun yang pasti adalah, hanyalah TNI-Polri yang saat itu berada di garis terdepan untuk melakukan evakuasi terhadap para korban tewas, dan melindungi mereka para korban selamat, dengan mempertaruhkan nyawa mereka sendiri.

Kemudian, masih di tahun yang sama KKB melakukan aksi kebiadaban mereka lagi, dengan menghabisi tiga warga sipil yang berprovesi sebagai tukang ojek dengan tanpa belas kasihan, dibantai menggunakan parang dan mati mengenaskan, di Distrik Oksebang, Pegunungan Bintang, pada 5 Desember 2022 yang lalu.

Ketiga tukang ojek tersebut, dibantai KKB karena diduga oleh mereka sebagai aparat. Video kekejaman KKB yang dilakukan dalam aksi tersebut itu pun, beredar di dunia maya sampai saat ini. Sayangnya, bukti nyata kekejaman tersebut, seperti tak cukup mendorong hati nurani banyak pihak untuk bersuara soal HAM para korban kekejaman KKB ini.

Padahal, tak sedikit nyawa tukang ojek di Papua yang melayang di tangan KKB, hanya karena dianggap sebagai aparat. Tak jarang pula, anak kecil yang merupakan orang asli Papua juga turut menjadi korba keganasan KKB yang entah penyebabnya apa.

Kekejaman dan kebiadaban KKB, yang kini dibela hak asasinya oleh segelintir orang ini tak hanya berhenti sampai di sini. Pada bulan Agustus tahun 2023, kembali beredar video penyiksaan yang dilakukan oleh KKB terhadap sejumlah Orang Asli Papua atau OAP.

Seolah tak ada hentinya, pada tahun 2024 ini, aksi kebrutalan KKB kembali terjadi dengan menyerang sejumlah anggota TNI yang sedang melakukan Patroli pada tanggal 22 Maret 2024 baru-baru ini. Sejumlah aparat TNI tersebut, diberondong dengan tembakan sebanyak 3 kali dari belakang, saat melintas di jalan pegunungan. Alhasil, 3 personel TNI memderita luka tembakan di kaki mereka.

Pada bulan April tahun 2024 ini, kejadian lebih sadis lagi ulah para KKB kembali terjadi. Tanggal 5 April 2024 ini, KKB menawan seorang anggota Brimob dan membunuhnya dengan tidak berperikemanusiaan. Dianiaya hingga tewas, dan tubuhnya dimutilasi saat korban sedak sekarat.

Masih dibulan dan tahun yang sama, tepatnya pada tanggal 11 April 2024 ini, KKB menembak hingga tewas Danramil Paniai saat sedang melintas di jalan pegunungan, menggunakan sepeda motornya. Tak puas dengan membunuh Danramil Paniai, KKB juga menyerang dengan senjata api, saat prosesi pemakaman Danramil Paniai.

*Surga yang Turun ke Bumi, Namun Megendap Kengerian Bagai Neraka*

Dari sederet peristiwa yang telah saya uraikan, masihkah Papua bisa disebut sebagai surga yang turun ke bumi? Jika dilihat sepintas dan hanya dari satu sisi saja mungkin demikian, tetapi jika dirasakan lebih dekat saat berada di sana, mungkin perspektif ini akan berubah drastis.

Betapa tidak, tempat yang disebut surga yang turun ke bumi secara psikologis dapat membuat kita hidup dalam ketakutan, terancam oleh kebrutalan KKB yang bisa saja setiap saat dan dimanapun, dapat dialami oleh setiap orang yang berada di Bumi Cendrawasih itu.

Kondisi inilah, yang tak jarang dirasakan oleh hampir semua warga negara yang berada di Papua. Tak hanya orang-orang yang berasal dari luar Papua, bahkan OAP sendiri pun, tanpa terkecuali bisa menjadi sasaran kebrutalan KKB saat ini.

Pertanyaanya, apakah keadaan ini terlintas di dalam benak mereka yang mengatasnamakan HAM untuk melindungi hak-hak KKB yang faktanya adalah pemberontak, musuh negara yang telah berkhianat kepada negara ini?

Bagi saya secara pribadi, KKB bukan pahlawan rakyat Papua. KKB tidak lebih hanya segerombolan teroris yang merusuh, merusak dan menebar ketakutan dengan aksi-aksi kebrutalan dan keji mereka. Mereka adalah penghianat Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang wajib ditumpas sampai ke akar-akarnya, untuk melindungi segenap bangsa Indonesia yang kini hidup dan tengah bertahan hidup di tanah Papua.

*Pemerintah Harus Mengambil Langkah Tegas dan Kongkrit*

Menyikapi persoalan konflik bersenjata yang kini masih tengah berlangsung di Papua, pemerintah Indonesia memang terus berupaya secara persuasif dengan memperhatikan norma-norma kemanusiaan seperti HAM, untuk mengatasi konfilk berdarah di Papua.

Sayangnya, hal ini belum cukup dan hingga saat ini belum berhasil untuk mengatasi persoalan di Papua. Pemerintah harus lebih meningkatkan upayanya lagi ke arah yang lebih tegas dan kongkrit, serta menyentuh ke akar persoalan yang terjadi di Papua, agar konflik yang berkepanjangan di sana segera berakhir.

Jika pemerintah masih tetap bersikap lembek dan hanya terus melakukan upaya persuasif, korban dari pihak TNI-Polri dan masyarakat sipil akan terus berjatuhan, yang entah sampai kapan fenomena mengerikan itu akan terus terjadi, dan mempengaruhi kehidupan sosial di Papua serta pembangunan yang ada di sana.

Sejak terjadinya konflik bersenjata di Papua pada Tahun 1961, entah sudah berapa banyak korban dari masyarakat sipil yang berjatuhan, entah sudah berapa banyak TNI-Polri Polri yang gugur untuk mempertahankan kedaulatan negara, sudah berapa triliyun kerugian materil yang dirasakan oleh masyarakat dan negara ini.

Tentu dengan terus bertambahnya korban di Papua, jelas akan menjadi momok bagi setiap siapapun Warga Negara Indonesia yang berada di Papua, ataupun yang ditugaskan di sana sebagai abdi negara. Masyarakat sipil, TNI-Polri maupun abdi negara lainnya akan terus merasakan ketakutan, kekhwatiran dan tertekan. Belum lagi, di sisi lain kerugian materil yang dihasilkan dari persoalan di sana yang terus bertambah, akan menyebabkan pembangunan di Papua menjadi terus tertinggal, khususnya Indeks Pembangunan Manusia (IPM).

Pada akhirnya, dengan berdasarkan perkembangan situasi yang tengah dihadapi di Papua sampai saat ini, pemerintah hanya diperhadapkan oleh dua pilihan sebagai solusi untuk mengakhiri konflik yang ada di Papua, yakni menumpas habis KKB hidup atau mati dengan konsep “NKRI Harga Mati” namun tetap memperhatikan norma-norma kemanusiaan, atau melakukan referendum dan melaksanakan apapun yang menjadi hasil referendum untuk Bumi Cendrawasih Papua.