Mahasiswa Pencinta Alam, Generasi Langka Yang Terpinggirkan

- Jurnalis

Sabtu, 27 September 2025 - 09:27 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Caption: ilustrasi.

Caption: ilustrasi.

Mahasiswa Pencinta Alam (Mapala) adalah sebuah organ kemahasiswaan intra Kampus yang sering dilekatkan dengan simbol mahasiswa selenge’an, senang berpetualang, berambut gondrong bahkan tidak jarang dosen dan mahasiswa yang parlente dan ambisius memberi stigma kelompok ini dengan sebutan “mahasiwa paling Lama”.

Adalah benar karena di saat mahasiswa lain sibuk dengan seminar atau lomba akademik, atau kejar-kejaran dengan dosen, mahasiswa pencinta alam memilih bergulat dengan lumpur, mendaki gunung, menundukkan tebing dengan kegagahannya atau tidak jarang mereka berjibaku dengan keganasan alam dalam misi penyelamatan.

Stigma Mahasiswa paling Lama dikatakan kurang tepat karena banyak juga dari kader mapala yang cerdas, pandai mengatur waktu dan menyelesaikan studinya pada waktu yang tepat dengan IPK yang tidak kalah bersaing dengan mereka mahasiswa dari organ lain yang justru memfokuskan diri mereka pada studi.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Mahasiswa Pencinta Alam (Mapala) merupakan generasi langka yang justru mulai terpinggirkan dalam wacana kampus, wacana pembangunan bahkan menjadi tema obrolan yang serasa kurang sedap didengar saat ini.

Sejatinya seorang kader mapala adalah mereka yang memegang teguh nilai-nilai yang menjawab krisis lingkungan, krisis moral para pejabat dan generasi muda.

Mahasiswa Pencinta Alam adalah mereka yang memahami dan berpegang teguh pada prinsip-prinsip akhlak lingkungan.

Seorang kader mapala saat memasuki dunia mapala harus mampu mengemban misi lingkungan dan patuh pada etika pencinta alam sebagai ideologinya.

Etika ini didasarkan pada Kode Etik Pecinta Alam Indonesia yang dicetuskan oleh seluruh anggota mapala pada tahun 1974, yang meliputi tanggung jawab kepada Tuhan, bangsa, dan tanah air, serta kewajiban menjaga alam, menghormati masyarakat, dan mempererat persaudaraan sesama pecinta alam melalui tiga prinsip “Take nothing but pictures, leave nothing but footprints, kill nothing but time”.

Kode etik diarahkan untuk membimbing perilaku pecinta alam sehingga memiliki karakter yang baik dan bertanggung jawab.

Etika dasar yang ditanamkan pada jiwa dan mengkristal dalam bentuk perilaku kader Mapala Adalah kontras dengan fenomena yang berlaku saat ini dimana pencurian oleh pejabat yang dalam bahasa santunnya korupsi terus merajalela, tindakan represif oleh Aparat yang menyebabkan luka, bahkan kematian seolah menjadi dekorasi wajib saat tuntutan demokrasi disuarakan, atau bahkan bekas-bekas kerusakan alam dan lingkungan yang oleh beberapa kalangan disebut sebagai akibat bekingan negara dan aparatur terus membekas dalam bentuk bencana ekologi yang semakin masif.

Baca Juga :  Belajar Tatap Muka Dimasa Pandemi Covid-19

Seorang kader pencinta alam, tidak bersuara marah namun terus melestarikan alam, mereka bahu membahu dalam kelompok kecil menegakkan pepohon kecil yang roboh, bahkan melakukan penanaman 1 atau 2 batang pohon di lingkungan yang mereka tuju.

Kader mapala bukan generasi cengeng yang bersahabat dengan gadget, mereka adalah generasi yang berupaya menyatukan dirinya dengan alam, menyibukkan jiwanya dalam penyatuan dengan sang pencipta alam, meninggalkan gadget dan media sosial sejenak yang hiruk dengan fitnah, isu dan ghibah, karena sejatinya mereka adalah generasi penakluk, tidak ada dataran yang tidak dapat dilalui, tidak ada gunung yang tidak dapat didaki, tidak ada belantara yang tidak dapat ditembusi dan tiada tebing curam yang tidak dapat ditaklukan meski hanya bermodalkan tali, kepercayaan dan persaudaraan .

Saat mahasiswa lain sibuk dengan pena dan buku, atau sibuk dengan ambisi IPK, mahasiswa pencinta alam (Mapala) sibuk memuliakan bumi, menjaga nilai-nilai dan agen pelestari lingkungan.

Mereka tidak dikenal, tidak dikenang karena mereka sadar dengan prinsipnya bahwa manusia adalah bagian dari alam dan penjaga alam untuk diwariskan.

Berbeda dengan mereka mahasiswa atau para dosen yang menguasai dengan dalam ilmu dan teori lingkungan namun hanya mampu beraksi dalam bentuk tulisan dan seruan tanpa tindakan nyata.

Mapala bukan sekadar organisasi petualangan, melainkan sebuah wadah pembentukan karakter, kepedulian lingkungan, dan solidaritas sosial.

Alah sebuah gambaran kontribusi nyata yang mereka lakukan adalah upaya konservasi hutan, membersihkan sungai dari sampah, hingga tanggap bencana.

Sayangnya, kontribusi ini jarang mendapat sorotan atau apresiasi yang layak dari mereka para pejabat kampus, pejabat pemerintah yang merindukan generasi berakarakter namun hanya habis dalam tataran konsep.

Dalam realitasnya Mapala sering mengalami stigmatisasi, dianggap sebagai “petualang liar”, “pemalas akademik”, atau hanya pencari eksistensi.

Sadarkah kita bahwa stigmatisasi ini berawal dari kurangnya perhatian dan dukungan kampus karena kegiatan mapala yang dominan alam dan lingkungan dianggap tidak sejalan dengan “kinerja akademik”, minimnya alokasi dana, fasilitas, dan dukungan struktural dibanding organisasi lainnya.

Pembina mapala hanya mampu diisi oleh mereka yang non job di lingkungan faktultas maupun institut tanpa pengetahuan dasar kepencintalaman. Sementara para pakar lingkungan berebut menelusuri jejak penelitian lingkungan berbiaya.

Tragis, seorang pakar ilmu lingkungan tidak mengajarkan atau menjadi pembina bagi organ yang di isi oleh jiwa-jiwa muda pencinta alam dan lingkungan.

Baca Juga :  Selama Ramadhan, Jam Kerja ASN Pemkab Sampang Dirubah

Kontras jadinya saat biaya perjalanan dinas pejabat yang seharusnya dapat membantu organ mapala untuk menyalurkan bakat dan hobinya hanya habis dalam bentuk pelisiran, dan foya-foya.

Kader dalam organ mapala adalah Generasi Langka di Era Instan dan Digital. Disaat sebagian besar mahasiswa lebih tertarik pada kegiatan yang instan, viral, dan nyaman, mapala justru menyibukkan diri dengan tantangan fisik dan mental yang keras, yang tidak lagi populer.

Hal inilah yang kemudian menjadikan kader mapala menjadi generasi langka, mereka memilih jalan sunyi untuk membentuk karakter sejati.

Mereka tidak ambisi merebut gelar sebagai generasi EMAS, sebagaimana yang selalu digaungkan pemerintah, karena sesungguhnya nilai-nila dan etika mereka terhadap alam lebih mahal dan tidak layak disejajarkan dengan EMAS sebagai gelar.

Kader dalam organisasi mapala adalah Potensi Besar yang abai dalam perhatian. Mereka sepatutnya menjadi duta kampus untuk isu-isu lingkungan dan sosial, karena ditubuh mereka ada kapasitas leadership, empati, dan pengalaman lapangan yang tidak diperoleh di bangku perkuliahan.

Sejatinya potensi ini dirangkul, bukan disingkirkan, bukan disudutkan dan diabaikan namun dirangkul karena mereka adalah sebuah permodelan mahasiswa dengan perilaku cinta dan mencintai alam. Mereka jauh dari perilaku korup karena dihati mereka terpatri 3 janji suci kader pencinta alam.

Simpulannya, Mahasiswa pencinta alam adalah aset generasi berkarakter yang butuh diarahkan, dirangkul dan dicecoki pengetahuan lingkungan. Mereka bukan generasi beban, namun sebaliknya mereka generasi mandiri yang bersedia menghemat jajannya demi sebuah perlengkapan dan cita-cita penaklukan alam..

Kampus dan masyarakat perlu membuka mata bahwa pembangunan karakter dan kepedulian sosial tak hanya terjadi di ruang kelas namun di luar sana jauh dari hiruk pikuknya fitnahan keji, manipulasi dan korupsi ada kelompok kecil yang berdiskusi hanya dengan cahaya bintang, lantunan alam dan kehangatan selimut alam.

Sadarilah Saat dunia dilanda krisis iklim dan bencana kemanusiaan, negara ini justru butuh lebih banyak kader-kader Mapala, sokong mereka, beri mereka ruang untuk belajar dan menyalurkan hobi, segarkan dan motivasi mereka dengan ilmu-ilmu lingkungan agar lebih searah dengan cita pembangunan.

Kepada para birokrasi kampus, mari sisihkan anggaranmu untuk membangun asa kader-kader mapala, karena dipundak mereka Lestarinya Alam dan Lingkungan sebagai pertanggungjawaban makna hakiki khalifatul fil ardh.

Salam lestari Berkeadilan
Rahmat Djaba/Dinosaurus
Kader Mapala_STA alumni Pendidikan dasar Gabungan Indonesia Timur di Makassar, 1996.

Penulis : -

Editor : Redaksi

Berita Terkait

Menanti Kepastian Hukum Tewasnya 3 Penambang PETI Ibarat
Idul Adha, Uswah dan Referensi Muhasabah Diri
Masa Depan Energi Indonesia: Generasi Muda Harus Melek Teknologi Hijau
RTK PMII Komisariat Trunojoyo IAI NATA Sampang Mandek
Politik dan Cahaya Puasa
Putusan MK Bukan Lonceng Kematian
Dilematik Pertambangan Tanpa Izin di Gorontalo
Fenomena Banjir dan Longsor

Berita Terkait

Sabtu, 27 September 2025 - 09:27 WIB

Mahasiswa Pencinta Alam, Generasi Langka Yang Terpinggirkan

Kamis, 31 Juli 2025 - 09:17 WIB

Menanti Kepastian Hukum Tewasnya 3 Penambang PETI Ibarat

Jumat, 6 Juni 2025 - 10:21 WIB

Idul Adha, Uswah dan Referensi Muhasabah Diri

Senin, 14 April 2025 - 13:32 WIB

Masa Depan Energi Indonesia: Generasi Muda Harus Melek Teknologi Hijau

Selasa, 8 April 2025 - 21:14 WIB

RTK PMII Komisariat Trunojoyo IAI NATA Sampang Mandek

Berita Terbaru

Caption: penandatanganan usai pengukuhan Ikatan Dokter Indonesia Cabang Pamekasan, di Pendopo Ronggosukowati, (dok. regamedianews).

Daerah

IDI Cabang Pamekasan Resmi Dikukuhkan

Sabtu, 27 Sep 2025 - 18:36 WIB

Caption: Sekda didampingi Kepala Disperta KP Sampang, meninjau langsung inovasi kelompok tani, (sumber foto: Diskominfo Sampang).

Daerah

Pemkab Sampang Pancing Petani Berinovasi

Sabtu, 27 Sep 2025 - 12:17 WIB

Caption: Bupati Bangkalan Lukman Hakim, diwawancara awak media perihal kasus kriminal yang menjerat Kades Geger, (dok. regamedianews).

Daerah

Proses Hukum Kades Geger Tanpa Intervensi

Jumat, 26 Sep 2025 - 23:19 WIB

Caption: pose bersama para juara Kerapan Sapi 2025 tingkat Kabupaten Pamekasan, (dok. regamedianews).

Ragam

Pemkab Pamekasan Dongkrak Budaya Kerapan Sapi

Jumat, 26 Sep 2025 - 21:20 WIB