Opini  

Politik dan Cahaya Puasa

Caption: ilustrasi.

Tahun 2025 masih menghembuskan tahun politik, walaupun pilkada serentak 2024 telah usai digelar namun bagi 24 daerah babak tambahan pemungutan suara ulang (PSU) menjadi arena untuk mendulang kembali oksigen mempengaruhi massa.

Aura panasnya sudah mulai terasa, bukan hanya di media sosial, melainkan sudah mulai turun ke lapangan. Walaupun tagar dan tagline ini itu mulai semarak seperti tahun sebelumnya.

Tentu tagar dan tagline semacam itu bukan sekat agar rakyat terjerat saling bertikai yang memecah belah nuansa kebangsaan menjadi kelompok-kelompok yang sulit dipertemukan.

Elit politik dan timses yang mestinya memproduksi diksi ketenangan justru sering menjadi bahan bakar yang tanpa sedikit pun memiliki tanggung jawab kebangsaan, disiramkan di tengah masyarakat yang maniak banalitas politik.

Kicauan narasi, diksi argumen hingga satire jika kita simak secara saksama isinya tak lebih hanya tontonan yang mencerminkan betapa politisi yang kita pilih ternyata kualitasnya tidak cukup menggembirakan. Begitu pula timses yang kita eluk-elukkan tak ubahnya pemburu rente proyek anggaran.

Cara mengargumentasikan gagasan nyaris hampa logika. Alih-alih menawarkan jalan baru berpolitik santun dan rasional, justru yang acap kali terjadi ialah artikulasi politik yang miskin data dan tidak ditopang nalar meyakinkan.

Di media sosial lebih mengerikan lagi. Polarisasi itu sudah akut. Algoritma medsos sebagai mesin teknologi dengan kemampuan hebat menghimpun kerumunan orang yang sama pandangannya, semakin mengentalkan fanatisme kelompok, menebalkan identitas perkubuan.

Bukan hanya perlunya pikiran yang koheren. Malah, yang kerap ditemui ialah kesombongan timses yang membabi-buta.

Tidak kalah juga kelompok “koprolisme” yang doyan menghamba lebih dari satu tuan ini senantiasa memandang politik sebagai lahan garapan rezeki, entah menaikkan status sosial sampai pada kepentingan yang melangit.

Media sosial menjadi padang kebencian, batu bata kesombongan, perang kata-kata ditumpahruahkan tanpa etika.

Jika dahulu terminal dan pasar sering dijadikan contoh tempat yang melambangkan percakapan kasar, sekarang tempat itu berpindah ke media sosial dengan “preman” yang pernah dipidana hingga yang baru belajar, jumlahnya lebih banyak dan “pedagang kecil” yang menjual dagangannya sarat dusta, hoax, dan kabar tak jelas asal usul sumbernya.

Antara komedi dan tragedi berbaur. Khotbah dan umpatan saling bertukar tempat. Kebenaran dan kebatilan diikat dalam garis tipis.

Mantan majikan, kawan, dan teman seperjuangan sungguhan dirisak habis-habisan, sementara majikan baru dijunjung tinggi dan dijadikan rujukan walau pun ujarannya tak bermutu dan memunggungi kaidah ilmu pengetahuan.

Di media sosial konsep umat bergeser menjadi “followers” Tidak ada pertemuan guru dan murid sebagai adab dalam proses pembelajaran seperti yang diajarkan kitab klasik Ta’lim al-Muta’allim, tapi lebih kepada intensitas membaca status, nge-like, atau nge-share gagasan yang dianggap penting diketahui khalayak.

Media sosial tidak saja menjadi tempat jalinan pertemanan menemukan ruangnya, tapi sekaligus memutuskan perkawanan yang dipandang tak sehaluan.

Sebuah paradoks sekaligus contradictio in terminis dengan term social media itu sendiri. Hanya diruang maya seperti ini berita umpatan kebencian di-like sebanyak-banyaknya sekaligus seseorang menggunggah doa lengkap dengan foto dirinya yang paling memikat.

Tidak ada urusan doa itu diijabah atau tidak, tulus atau sekedar pencitraan. Dengan menarik penemu facebook Zuckerberg menyindir, “Saya bukan Tuhan yang dapat mengabulkan doa kalian. Tak perlu berdoa di linimasa, ini bukan dinding ratapan tempat berdoa jemaat atau rumah ibadah ruang kalian menyampaikan permohonan”.

Politik dan Cahaya Puasa

Puasa tentu saja bukan hanya persoalan kemampuan menahan lapar sepanjang siang, melainkan harus melampaui defenisi fikih. Kalau sekedar itu anak kecil tak banyak mengalami kesulitan.

Puasa semestinya juga dimaknai sebagai pintu masuk untuk menahan hawa nafsu, hasrat primitif, dan keinginan rendah yang dapat melunakkan kemanusiaan. Termasuk puasa mengajarkan politik dikelola dengan benar.

Kita menjadi paham betapa tempo hari manusia terpilih baik filsuf atau pun para nabi menjadikan puasa sebagai ibadah kesukaannya. Ternyata puasa tidak hanya dapat membangun kesalehan personal, tetapi juga sosial. Tempo hari perang Badar yang melambangkan pertempuran kebenaran dan kebatilan diselenggarakan pada bulan Ramadan.

Sidarta Gautama melepaskan seluruh atributnya sebagai manusia politik yang gemar berdusta dan mengelabui massa untuk kemudian berpuasa mengosongkan pikiran di bawah pohon Bodhis.

Kearifan lama di sepanjang gugusan tradisi penghayatan manusia nusantara dikenal ungkapan “urakat”. Tirakat berasal dari tarekat. Sebuah laku rohaniah yang di antaranya dipraktikkan dengan cara berpuasa.

Tirakat sebagai jalan spiritual bukan hanya dalam rangka mencapai ketenangan individu, melainkan lebih dari itu, sebagai upaya mengajarkan kepada khalayak agar kehidupan tak tersandera materi, tidak dikerangkeng daging, dan keinginan-keinginan kebendaan.

Tirakat sebagai simbol penyatuan “agama” dan “negara/daerah” tidak dalam konteks raganya yang bersifat formalistis, tapi jiwanya yang substantifik.

Maka, dikemudian hari menjadi bisa dipahami raja-raja yang adil dawahnya dianggap sebagai kepanjangan dari sabda Tuhan. Raja ini secara teologis harus ditaati senapas dengan ketaatan terhadap Tuhan dan nabinya.

Hari ini diakui atau tidak, politik kehilangan jiwanya. Politik menjadi medan konflik, bukan lagi seni mengatur manusia dengan penuh sentuhan ketulusan.

Kita sulit menemukan lagi atmosfer politik yang hangat sebagaimana dicontohkan manusia pergerakan tempo hari. Politik berakhlak, mencerahkan, dan sarat cahaya ilmu pengetahuan.

Politik hari ini persis apa yang digambarkan Thomas Hobbes, hanya memberikan ruang bagi mereka yang terkuat, memberikan tempat bagi siapa pun yang berduit. Politik yang kehilangan daulat akal sehat, daulat rakyat, dan daulat tirakat.

Kalau pemandangan primitif seperti ini yang tak hentinya dirayakan, kita sesungguhnya tengah menggali kubur sendiri untuk bersama-sama ditimbun dalam sejarah yang sepenuhnya tak layak dikenang.

Dimana yang lemah menjadi abu dan pemenang bernasib tak ubahnya arang. Pesan sosial cahaya puasa, salah satunya “mengingatkan kita tentang pentingnya mengaktifkan politik yang beradab”.

Oleh : Zulkarnain Musada
Dosen Ilmu Perikanan Universitas Dumoga Kotamobagu.